Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal Wacana Penundaan Pemilu, Ini Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara UNS

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto, mengatakan penundaan Pemilu 2024 harus mempertimbangkan keinginan rakyat.
Warga mengikuti pemungutan suara (ilustrasi)/ANTARA-Irwansyah Putra
Warga mengikuti pemungutan suara (ilustrasi)/ANTARA-Irwansyah Putra

Bisnis.com, SOLO - Wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 belakangan menjadi perbincangan publik.

Hal itu setelah usulan tersebut disampaikan oleh sejumlah ketua umum partai politik dan salah seorang menteri Presiden Joko Widodo dengan alasan kepentingan ekonomi.

Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto, mengatakan penundaan pemilu harus juga mempertimbangkan keinginan rakyat.

Sebab, untuk melakukan penundaan pemilu tersebut langkah yang diambil perlu melakukan amandemen UUD 1945.

“Melakukan amandemen konstitusi itu tidak boleh memaksa tapi harus berdasarkan kepada kesepakatan rakyat. Karena apa? Karena konstitusi itu adalah masalah fundamental,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada wartawan, belum lama ini.

Agus menyampaikan ada skema formal dan informal yang dapat ditempuh untuk melakukan penundaan Pemilu 2024. Selain mengamandemen UUD 1945 yaitu dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Judicial review di MK bisa menafsirkan makna konstitusi tertentu supaya dimaknai sebagai perkembangan zaman. Misalnya saja, orang bisa saja menggunakan batu uji ketentuan pasal 167 ayat 1 UU No.7/ 2017 untuk mengetahui boleh nggak sih itu dilaksanakan tidak lima tahun sekali,” kata Dr. Agus.

Meski kesempatan untuk melakukan penundaan pemilu cukup terbuka, ia menyebut untuk merealisasikannya bukan perkara yang mudah. Apalagi jika menggunakan skema formal dengan mengamandemen UUD 1945.

Sebab, menunda Pemilu 2024 maka harus ditentukan pula bagaimana nasib presiden , wakil presiden, dan anggota DPR-DPD yang masa jabatannya habis pada tahun tersebut. Termasuk juga menentukan siapa lembaga yang berhak memperpanjang masa jabatan mereka.

Sebab, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini hanya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 dan melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Selain itu, perlu juga untuk mempertimbangkan makna tersirat “tiga periode” dari penundaan Pemilu 2024. Sebabnya, jika masa jabatan Presiden/ Wakil Presiden diperpanjang selama satu sampai dua tahun itu artinya sama dengan satu periode.

“Harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang pemimpinnya tidak ada. Presiden Wakil Presiden, DPR, dan DPD tidak lagi berkuasa, masa jabatan berakhir. Hukum harus mengatur bagaimana hukum tata negara mengatur kalau masa jabatannya berakhir,” terangnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper