Bisnis.com, SEMARANG – Pada paruh kedua 2022, jumlah investor di Kawasan Industri Kendal (KIK) terus mengalami peningkatan.
Head of Sales and Marketing KIK Juliani Kusumaningrum mengungkapkan ada sejumlah perusahaan yang dalam waktu dekat bakal berinvestasi di kawasan tersebut.
“Yang terakhir kita ada pabrik keramik. Ini butuh energi gas yang cukup besar, sementara problemnya sambungan gasnya itu kapan pemerintah mau bangun, karena takut tidak ada pemakainya. Ini sekarang sudah ada demand-nya,” jelas Juliani saat dihubungi Bisnis pada Kamis (7/7/2022).
Juliani menjelaskan perusahaan keramik dari dalam negeri itu tertarik untuk berinvestasi di KIK. Tetapi, pasokan gas sebesar enam juta meter kubik mesti bisa dipenuhi supaya pabrik itu bisa beroperasi secara optimal.
“Dari provinsi sudah menjanjikan, [sambungan pipa gas] sampai ke depan pintu masuk [KIK] itu awal tahun depan, atau di Kuartal II/2022. Sementara dari kita sendiri harus organize untuk pipa di dalam kawasan,” jelas Juliani melalui sambungan telepon.
Ditanya lebih lanjut, Juliani masih belum bisa mengutarakan rencana lebih lanjut terkait pembangunan sambungan pipa gas di dalam KIK tersebut. Tetapi, KIK punya opsi untuk menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk membangun pipa gas di dalam kawasan. “Yang pasti pipanya akan kita bangun di kuartal I atau II tahun depan,” tambahnya.
Selain pabrik keramik dari dalam negeri, Juliani juga mengungkapkan bahwa sejumlah investor mancanegara telah mulai melirik KIK. Ada perusahaan dari Korea Selatan, juga Malaysia yang menyatakan diri tertarik berinvestasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tersebut.
Dari Malaysia, rencananya bakal masuk pabrikan alat cuci darah untuk menyasar pasar dalam negeri. “Selama ini impor, supaya bisa menaikkan impor substitusi jadi mereka sengaja ke sini untuk mengejar pasar mereka,” jelas Juliani.
Sementara itu, investor dari China masih belum banyak masuk ke KIK. Juliani memperkirakan kebijakan lockdown yang diambil pemerintah Negeri Tirai Bambu itu ikut memengaruhi perilaku investor.
Juliani menyebut ada sejumlah kelebihan KIK yang tidak dimiliki kompetitor di wilayah lain. Jika dibandingkan Vietnam misalnya, kebijakan dalam negeri memberikan sentimen positif bagi investor yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak.
“Mereka [investor] memang pertama kesulitan mencari tenaga kerja dalam jumlah besar. Terkait waktu Covid-19 banyak yang tidak bisa urbanisasi [di Vietnam]. Kedua, memang biaya yang di sana makin lama makin tidak bisa catch up,” jelas Juliani.
Pada perkembangan lainnya, Pemerintah Singapura juga dikabarkan bakal melanjutkan investasi mereka di KIK. Juliani menjelaskan bahwa dalam kunjungannya yang terakhir, Menteri Keuangan Singapura Lawrence Wong disebut-sebut tengah menggodok peluang pengembangan KIK fase II.
“Rencana di fase II ada tambahan 1.200 hektare, perkiraan baru mulai di tahun 2024,” beber Juliani.