Bisnis.com, SEMARANG — Kelompok buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPD KSPSI) DI Yogyakarta melakukan walkout dari sidang pleno dewan pengupahan provinsi yang digelar Kamis (24/11/2022). Sikap tersebut diambil untuk menegaskan penolakan kelompok buruh atas rekomendasi kenaikan upah minimum 2023 yang oleh pemerintah dibatasi maksimal 10 persen.
"Kami secara organisasi belum sepakat, karena dalam Peraturan Menteri No.18/2022 dibatasi maksimal kenaikan upah 10 persen. Sedangkan hasil temuan organisasi DPD KSPSI DI Yogyakarta secara survei kebutuhan hidup layak (KHL) di atas 10 persen semua agar bisa menjadi hidup layak," jelas Patra Jatmika, Wakil Ketua DPD KSPSI DI Yogyakarta.
Dalam siaran persnya, DPD KSPSI DI Yogyakarta sebagai perwakilan kelompok buruh menyerahkan pernyataan sikap kepada Dewan Pengupahan Provinsi DI Yogyakarta. Dalam surat tersebut, kelompok buruh melayangan enam tuntutan.
Tuntutan pertama, pemerintah diminta untuk mencabut Peraturan Menteri No.18/2022 yang merekomendasikan kenaikan upah minimum 2023 di bawah 10 persen. Selanjutnya, untuk rincian Upah Minimum Kabupaten/Kota di DI Yogyakarta, kelompok buruh meminta Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota tahun 2023 sesuai dengan Peraturan Menteri No.13/2012.
Adapun DPD KSPSI DI Yogyakarta telah melakukan perhitungan KHL bersama Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DI Yogyakarta. Dalam kajian tersebut, dihasilkan UMK sebesar Rp4.229.663 untuk Kota Yogyakarta, Rp4.119.413 untuk Kabupaten Sleman, Rp3.949.819 Kabupaten Bantul, Rp3.404.473 Kabupaten Gunungkidul, dan Rp3.702.370 untuk Kabupaten Kulon Progo.
Pada tuntutan ketiga, kelompok buruh juga menolak tegas UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang dijadikan dasar perhitungan upah minimum 2023. "DPD KSPSI DI Yogyakarta menolak secara tegas Peraturan Pemerintah No.36/2021 yang mana turunan dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi," ucap Patra.
Lebih lanjut, DPD KSPSI DI Yogyakarta juga menuntut pemerintah daerah untuk bisa mengalokasikan lebih banyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) serta Dana Keistimewaan untuk program kesejahteraan masyarakat. Kelompok buruh juga mendesak Gubernur DI Yogyakarta untuk menetapkan dan membagikan sebagian tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground untuk program perumahan pekerja yang layak dan terjangkau.
"Kami secara organisasi belum sepakat, karena dalam Peraturan Menteri No.18/2022 dibatasi maksimal kenaikan upah 10 persen. Sedangkan hasil temuan organisasi DPD KSPSI DI Yogyakarta secara survei kebutuhan hidup layak (KHL) di atas 10 persen semua agar bisa menjadi hidup layak," jelas Patra Jatmika, Wakil Ketua DPD KSPSI DI Yogyakarta.
Dalam siaran persnya, DPD KSPSI DI Yogyakarta sebagai perwakilan kelompok buruh menyerahkan pernyataan sikap kepada Dewan Pengupahan Provinsi DI Yogyakarta. Dalam surat tersebut, kelompok buruh melayangan enam tuntutan.
Tuntutan pertama, pemerintah diminta untuk mencabut Peraturan Menteri No.18/2022 yang merekomendasikan kenaikan upah minimum 2023 di bawah 10 persen. Selanjutnya, untuk rincian Upah Minimum Kabupaten/Kota di DI Yogyakarta, kelompok buruh meminta Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota tahun 2023 sesuai dengan Peraturan Menteri No.13/2012.
Adapun DPD KSPSI DI Yogyakarta telah melakukan perhitungan KHL bersama Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DI Yogyakarta. Dalam kajian tersebut, dihasilkan UMK sebesar Rp4.229.663 untuk Kota Yogyakarta, Rp4.119.413 untuk Kabupaten Sleman, Rp3.949.819 Kabupaten Bantul, Rp3.404.473 Kabupaten Gunungkidul, dan Rp3.702.370 untuk Kabupaten Kulon Progo.
Pada tuntutan ketiga, kelompok buruh juga menolak tegas UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang dijadikan dasar perhitungan upah minimum 2023. "DPD KSPSI DI Yogyakarta menolak secara tegas Peraturan Pemerintah No.36/2021 yang mana turunan dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi," ucap Patra.
Lebih lanjut, DPD KSPSI DI Yogyakarta juga menuntut pemerintah daerah untuk bisa mengalokasikan lebih banyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) serta Dana Keistimewaan untuk program kesejahteraan masyarakat. Kelompok buruh juga mendesak Gubernur DI Yogyakarta untuk menetapkan dan membagikan sebagian tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground untuk program perumahan pekerja yang layak dan terjangkau.