Bisnis.com, SEMARANG - Suasana dingin tak pernah absen dari Desa Samirono, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokasinya memang kurang dari 10 km dari Alun-Alun Kota Salatiga. Namun, desa sentra peternakan sapi perah itu berada di kawasan Kopeng yang tepat berada di kaki Gunung Merbabu.
Uniknya, meskipun harus bergelut dengan suasana dingin, warga di Desa Samirono hampir setiap hari bisa menikmati air panas untuk mandi. Bukan karena sumber air panas alami, apalagi ketersediaan LPG yang melimpah. Justru, setiap harinya, warga rajin menggodok air dengan kompor berbahan bakar kotoran sapi.
Kepala Desa Samirono Slamet Juriono menceritakan bahwa desanya itu memang sudah puluhan tahun akrab dengan ternak. Saat Orde Baru, Presiden Soeharto sempat memberikan bantuan berupa sapi perah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa itu. Sapi bantuan itu tidak boleh dijual, anak sapi yang lahir akhirnya memenuhi kandang milik warga.
Setiap rumah di Desa Samirono hampir bisa dipastikan memiliki kandang ternak. Isinya paling sedikit seekor sapi perah, bahkan di sebagian rumah bisa mencapai lima hingga sepuluh ekor. Visi Presiden Soeharto itu pun perlahan mulai terwujud.
"Dengan peningkatan taraf ekonomi, lama kelamaan usaha peternakan ini bisa mengubah situasi. Yang awalnya kita mau menyekolahkan anak sampai ke jenjang SMP SMA waktu itu masih sulit. Tapi dengan perubahan status ekonomi, akhirnya sekarang tidak sedikit yang lulusan S1 dan S2. Itu sebagian besar dibiayai sektor peternakan," jelas Juriono saat ditemui Bisnis, Selasa (27/12/2022).
Seiring berjalannya waktu, majunya sektor peternakan yang dijalankan warga ikut menimbulkan masalah baru. Aroma kurang sedap dari kotoran sapi, yang jumlahnya tidak sedikit, mulai dikeluhkan warga. "Orang luar daerah yang belum terbiasa dengan kondisi ini banyak yang mengeluh," kata Juriono.
Dari situ, Desa Samirono bersama Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wilayah Ungaran-Telomoyo berupaya untuk mengurai permasalahan. Caranya dengan memanfaatkan kotoran yang dulunya dianggap limbah menjadi sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) berupa biogas.
Bantuan pembangunan instalasi biogas mulai digencarkan. Satu per satu, dari mulut ke mulut, pemanfaatan biogas itu mulai direspon positif oleh warga. Termasuk oleh Samiem dan keluarganya. Dulunya, sebelum menerima bantuan pembangunan biogas, perempuan itu bisa menghabiskan 3-4 tabung LPG ukuran 3 KG. "Sekarang satu bulan saja tidak habis. Karena nyalanya cuma kalau ada acara pengajian, atau acara lain. Kalau tidak ada acara ya cukup pakai biogas," katanya.
Di belakang rumahnya, Samiem merawat seekor sapi perahan. Setiap sore, suaminya mengolah kotoran sapi itu untuk bisa masuk ke dalam digester. Dalam sehari, sapi milik Samiem bisa mengeluarkan kotoran hingga dua ember banyaknya. Kotoran itu kemudian difermentasi secara alami ke dalam digester.
Sisa kotoran yang tidak habis menjadi biogas tak dibuang begitu saja. Samiem memanfaatkan limbah biogas yang disebut bio slurry itu sebagai pengganti pupuk kandang. "Dipakai buat pupuk tanaman, yang cair. Kalau yang kasar, itu nanti dibawa ke alas untuk pupuk tanaman cabai, tembakau, jagung. Nanti juga ada sayurannya, sama seperti pupuk kandang," jelasnya.
Samiem mengaku tetangga kanan kirinya banyak yang tertarik dengan biogas itu. Pasalnya, selain mengurangi limbah dari kandang ternak, manfaat besar yang bisa dirasakan warga adalah penghematan biaya bahan bakar.
"Ibaratnya, hanya limbah saja kok bisa nyala api. Padahal, dulu kalau cari kayu harus ke alas. Jalan kaki ya bisa setengah jam, setiap hari bisa cari 5-10 KG kayu bakar. Jadi berangkat bawa pupuk kandang buat tanaman, pulang bawa kayu atau rumput buat ternak," jelas Samiem.
Lebih dari pada itu, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Eni Lestari, mengungkapkan bahwa pemanfaatan kotoran ternak sebagai biogas juga menyelesaikan permasalahan lingkungan di sekitar Kecamatan Getasan. "Karena selama ini polutan di Rawa Pening itu ditengarai dari kotoran ternak. Walaupun tidak langsung dibuang, tapi kotoran dari daerah-daerah di atasnya itu sampai ke sana," jelasnya kepada Bisnis.
Eni menambahkan, pemanfaatan kotoran ternak itu juga menjadi upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk meningkatkan bauran EBT. Pasalnya, hampir di setiap wilayah di Jawa Tengah memiliki potensi energi hijau dari kotoran sapi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ada 142.124 ekor sapi perah di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut, 25.989 ekor di antaranya berada di Kabupaten Semarang. Kabupaten Boyolali jadi wilayah dengan jumlah sapi perah terbanyak di Jawa Tengah dengan 94.000 ekor. Untuk sapi potong, jumlahnya lebih banyak lagi. Jawa Tengah disebut punya 1.863.327 ekor sapi yang banyak tersebar di wilayah timur. Misalnya saja Kabupaten Blora atau Grobogan.
Sama seperti yang terjadi di Desa Samirono, potensi ternak yang cukup besar itu diikuti dengan persoalan kotoran yang mesti ditangani. Untuk itu, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah melaksanakan program hibah ke berbagai wilayah untuk mendorong pemanfaatan biogas. Pada tahun 2023 mendatang, dilaporkan bakal ada sekitar 196 unit biogas yang bakal dibangun dengan skema tersebut.
Eni juga menjelaskan bahwa program hibah itu diharapkan bisa membangun kebiasaan baru di masyarakat. Kebiasaan untuk bisa memanfaatkan setiap potensi energi yang ada dengan lebih efektif. Untuk itu, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bersama kantor cabang yang tersebar di berbagai daerah terus melakukan pembinaan dan pelatihan.
"Tidak menutup kemungkinan kalau tidak dimonitor akhirnya usaha itu berhenti. Maka itu yang kita lakukan, jadi tak cuma membangun tetapi sekaligus memberikan pelatihan, pemahaman ke kelompok. Masyarakat itu yang penting ikut merasa memiliki dari awal. Karena yang penting itu keberlanjutannya, tidak membangun terus selesai," katanya.