Bisnis.com, SEMARANG - Kinerja manufaktur di Jawa Tengah, khususnya pada sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), terpengaruh pelemahan ekonomi di tingkat global.
"TPT Jawa Tengah mayoritas adalah assembly yang tergantung pada order internasional. Di sisi lain, bahan bakunya juga sebagian besar impor. Jadi terkena tekanan dua kali, dari demand internasional dan juga cost of production karena pelemahan rupiah," jelas Wahyu Widodo, ekonom Universitas Diponegoro (Undip) pada Jumat (3/2/2023).
Kepada Bisnis, Wahyu menjelaskan bahwa dampak lebih lanjut dari kondisi tersebut adalah meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sektor TPT. Namun, diperkirakan kondisi tersebut bakal terus membaik. Prediksi itu datang dari sejumlah indikator positif yang datang dari negara utama tujuan ekspor Jawa Tengah.
"The Fed terakhir hanya menaikkan suku bunga 25 basis poin, semakin rendah. Artinya ekspektasi inflasi AS semakin menurun. Menjadi sinyal baik untuk pemulihan global," jelas Wahyu.
Pada perkembangan lainnya, dari dalam negeri, sektor TPT di Jawa Tengah justru ketiban cuan dari relokasi pabrik yang terjadi.
"Ada, kebanyakan dari Jawa Barat dan Banten," kata Ratna Kawuri Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, saat dikonfirmasi soal isu relokasi pabrik tersebut.
Baca Juga
Sebagai informasi, Jawa Barat dan Banten menjadi daerah dengan gelombang PHK yang cukup masif dalam beberapa waktu terakhir. Pabrik-pabrik dari dua wilayah itu mengincar Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Klaten, Kabupaten Brebes, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Purbalingga buat relokasi.
Ratna melanjutkan bahwa Jawa Tengah masih bakal terus mengunggulkan sektor TPT. Pasalnya, kinerjanya menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi daerah.
"Industri TPT atau garmen menempati peringkat ketiga dari realisasi investasi tahun 2022, 13,3 persen. Jadi tetap menjadi unggulan ekspor Jawa Tengah, sehingga kinerjanya sangat diharapkan," pungkasnya.