Bisnis.com, SEMARANG — Banjir menjadi tamu tahunan bagi sebagian besar warga di kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah.
Berdasar catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah daerah rawan banjir tersebut di antaranya seperti Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Grobogan, Kota Pekalongan, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak. Kemudian Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah yang rawan longsor.
Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Abdul Rochim menyebut perubahan iklim ikut meningkatkan resiko banjir di Jawa Tengah. Diperkirakan, pada 2035 suhu permukaan bumi akan naik hingga dua derajat celsius.
Kondisi tersebut bakal memicu kenaikan muka air laut sebesar 50 cm hingga 70 cm.“Bahkan, pada tahun 2100 ini ya diprediksi 115 pulau di Indonesia akan tenggelam. Jadi, ini memang satu lingkaran yang tidak terputus,” kata Abdul di Fakultas Teknik Unissula, Rabu (28/3/2024).
Fenomena iklim memang kerap dikambing hitamkan ketika terjadi banjir. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa cuaca ekstrem yang terjadi awal bulan Maret di Kota Semarang itu disebabkan karena kemunculan tiga bibit siklon secara tiba-tiba. Ditambah, adanya kumpulan awan-awan hujan yang berasal dari barat India dan timur Afrika masuk ke arah Indonesia.
“Jadi ada beberapa fenomena terjadi bersamaan yang secara sesaat muncul, itu mengakibatkan hujan ekstrem,” jelasnya di Kantor Gubernur Jawa tengah pada Senin (18/3/2024).
Baca Juga
Kepala Stasiun Meteorologi Ahmad Yani Semarang, Yoga Sambodo, mengatakan banjir di sejumlah wilayah di Jawa Tengah disebabkan oleh cuaca ekstrem yang dipicu karena adanya femomena atmosfer. Namun demikian, ada banyak faktor lain yang jadi pemicu bencana musiman itu.
Mila Karmilah, Kepala Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Unissula Semarang, menyebut ada banyak faktor penyebab banjir. Semuanya saling berkaitan dan tidak melulu terkait cuaca ekstrem.
Pembangunan infrastruktur dan industri yang tidak sesuai dengan regulasi, misalnya pembangunan yang dilakukan di daerah konservasi, menjadi salah satu faktor pemicu banjir yang tidak bisa dianggap remeh.
“Pembangunan infrastruktur, entah tanggul, entah laut, atau pembangunan di pantai sebagainya. Itu kan kemudian menyebabkan banyak hal, misalnya pengurukan tanah, pengambilan air di bawah tanah, yang itu menyebabkan terjadinya banjir,” terang Mila.
Sependapat dengan Mila, Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Semarang Cornelius Gea juga menuturkan peliknya persoalan banjir yang dihadapi Kota Semarang dan kawasan Pantura Jawa Tengah. Saking peliknya, penyebab bencana itu tak bisa disederhanakan dengan hanya menyalahkan alam.
Ada proses sosial dan politik yang problematik dan menjadi faktor penyebab banjir.Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bermasalah, ekstraksi air tanah yang berlebih, pembangunan proyek besar di kawasan pesisir, hingga alih fungsi kawasan hijau menjadi faktor lain yang luput dari perhatian.
Cornelius melanjutkan, belasan triliun anggaran penanganan banjir yang digelontorkan pemerintah juga belum menunjukkan hasil. etiap tahun banjir di Provinsi Jawa Tengah justru semakin parah, tidak terlihat tren penurunan atau perbaikan. “Selama ini solusi yang ditawarkan tidak pernah menyelesaikan akar masalah dari banjir,” tuturnya.
Lebih lanjut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Syukron Salam, mengungkapkan bahwa pemicu banjir di Kota Semarang dapat dilacak dari rekonfigurasi ruang karena industrialisasi yang dimulai pada tahun 1980-an dan menyebabkan masifnya urbanisasi. Pada masa itu, investasi mulai banyak berdatangan, Pelabuhan Tanjung Mas mulai dibangun, merebaknya kawasan Lingkungan Industri Kecil (LIK), membuat orang berbondong-bondong untuk menciptakan perumahan di sekitarnya. Dari situ, terlihat pola bahwa kawasan sawah yang dulunya bisa menampung air kini berubah menjadi lahan pemukiman.
“Urbanisasi Kota Semarang yang muncul dari industrialisasi mengkonversi kawasan yang dulu habitat air menjadi kawasan tertutup, mau tidak mau air mencari tempat, kalau tidak cukup maka terjadilah banjir,” jelas Syukron.
Kalangan akademisi menilai pemerintah masih belum mengakomodir suara masyarakat dalam mengurai problem banjir di Jawa Tengah. Rekomendasi yang disuarakan kelompok akademisi bahkan dianggap angin lalu tanpa keberlanjutan yang jelas. [Magang/Vatrischa Putri Nur Sutrisno]