Bisnis.com, SOLO — Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo mencatat ada sebanyak 173 pengaduan sepanjang semester I tahun 2018. Aduan dari konsumen ini rata-rata untuk sektor Perbankan. Namun demikian, OJK Solo menggarisbawahi aduan ini bukan berarti layanan perbankan dinilai jelek.
Kepala Sub Bagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo, Antonius Yudhianto, mengatakan aduan dari konsumen ini kebanyakan berkenaan dengan kredit macet di Soloraya. Antara lain, konsumen minta penangguhan atau waktu agar barang yang dijaminkan atau dijadikan agunan tidak dilelang.
“Rata-rata mereka mengadu minta penangguhan karena sesuai batas waktu yang ditentukan belum membayar kredit sehingga barang agunan di perbanakan hendak dilelang,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (2/8/2018).
Menurutnya, jumlah aduan tersebut banyak berasal dari konsumen di Kota Solo. Di sisi lain, pada 2017 lalu pengaduan dari konsumen ini tercatat sebanyak 215. Jumlah ini juga didominasi aduan konsumen di sektor perbankan.
OJK Solo juga terus menggencarkan edukasi keuangan khususnya untuk masyarakat di Soloraya. Dengan begitu, masyarakat makin cerdas dan bijak mengelola keuangan dan menggunakan produk keuangan.
Ia menambahkan tingkat pemahaman masyarakat Soloraya masih dominan pada sektor keuangan perbankan. Setelah bank baru disusul pegadaian, asuransi, leasing, dan paling kecil adalah pasar modal.
Di samping itu, kinerja sejumlah indikator perbankan di Soloraya hingga Mei 2018, yakni adanya kenaikan kredit pada bank umum konvensional dan syariah sebesar 9,43% dibandingkan dengan Mei 2017 atau year on year (Yoy).
Persentase ini dari Rp68,251 miliar menjadi Rp74,687 miliar di bulan yang sama. Sedangkan non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah sebesar 1,95% baik bank umum konvensional maupun syariah. Sementara NPL gross bank umum konvensional 2,01% dan NPF gross bank syariah mencapai 1,41%.
Sementara itu, Kepala Kantor OJK Solo, Laksono Dwi Onggo, menambahkan dari hasil survei nasional indeks literasi dan inklusi keuangan kali terakhir pada 2016, untuk Provinsi Jawa Tengah sebesar 33,51%. Sementara untuk inklusi keuangannya 66,23%.
“Semestinya dua hal ini berbanding lurus, yakni antara literasi keuangan atau tingkat pemahaman masyarakat akan sektor ini dengan tingkat pemakaian produknya [inklusi] sama. Namun demikian, masyarakat ternyata lebih banyak sudah langsung memakai produk keuangan dengan pemahaman yang kurang akan hal ini,” paparnya.
Meskipun demikian, secara nasional survei terhadap 9.680 responden di 64 kabupaten/kota, indeks literasi keuangan sektor perbankan tahun 2016 sebesar 28,94% naik sangat signifikan dari 2013 sebesar 21,80%. Di sektor pergadaian indeksnya sebesar 17,82% naik dari 2013 sebesar 14,85%.
Adapun sektor asuransi, angka indeks justru menurun dari 2013 sebesar 17,84% menjadi 15,76% pada 2016. Lembaga pembiayaan naik dari 9,80% menjadi 13,05% sedangkan pasar modal masih cukup kecil dari 3,79% pada 2013 menjadi 4,40% pada 2016.