Bisnis.com, YOGYAKARTA – Presiden Joko Widodo bercerita bahwa empat tahun lalu, saat baru menjabat sebagai Presiden Indonesia, ia sedih melihat masyarakat sekitar hutan justru terabaikan kesejahteraannya.
Langkah koreksi pun dilakukan secara menyeluruh. Salah satunya, orang nomor satu di republik ini memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar melakukan pengorganisasian untuk membangun kehutanan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah terkait dengan UU 23 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur ulang kewenangan bidang kehutanan ditarik dari pemda kabupaten ke pemda provinsi.
Untuk itulah kemudian ditata ulang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai metamorfosis kelembagaan kehutanan dari Dinas Kehutanan Kabupaten ke KPH sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kehutanan Provinsi.
Selain itu, yang penting juga pelembagaan akses legal rakyat untuk dapat mengelola hutan secara lestari yang kemudian diwujudkan melalui Perhutanan Sosial.
“KPH dapat mendorong masyarakat memanfaatkan hutan secara tepat dan lestari. Contohnya saja ulat sutera, hanya ada di beberapa titik seperti di Gorontalo dan Sulawesi Selatan, padahal itu bisa ribuan titik yang dikembangkan,” kata Presiden Jokowi saat menghadiri Festival KPH di kawasan Hutan Pinus Mangunan, Dlingo, Bantul, DIY, Jumat (28/9/2018).
Kini kolaborasi antara KPH, masyarakat dunia usaha, dan kelompok masyarakat dengan dukungan teknologi, telah mulai dinikmati. Ratusan ribu lapangan kerja terbuka dan masyarakat sekitar hutan diyakini akan kian sejahtera seiring dengan berbagai langkah koreksi tata kelola hutan yang terus berjalan, khususnya melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
“Hutan harus bisa menyejahterakan rakyat dan masyarakat desa hutan harus lebih makmur, bukan sebaliknya,” tegas Presiden Jokowi di hadapan ribuan rakyat yang hadir.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan tidak kurang dari 151.400 orang saat ini dapat terserap dengan pola padat karya kehutanan dalam setahun. Jumlah ini akan semakin meningkat seiring dengan arahan Presiden Jokowi untuk tahun 2019 menaikkan 10 kali lipat luasan rehabilitasi lahan dibandingkan dengan rata-rata dalam setahun.
Rakyat juga selama ini melakukan tebang tanam pohon kayu pada lahan mereka sendiri, seluas 102.000 hektare. Ini dapat menyerap sekitar 510.000 orang tenaga kerja, dengan volume kayu yang berputar yakni ditebang dan ditanam tiap tahun sekitar 9,53 juta m3, khususnya hutan rakyat Pulau Jawa.
“Dari kawasan konservasi, terserap lebih dari 100.000 orang. Dari pemanfaatan 10 Balai besar, terserap lebih dari 19.140 orang untuk pengelolaan tumbuhan dan satwa liar. Sementara dari tata kelola gambut, konstruksi kanal, dan lainnya lebih dari 401.000 orang,” ungkap Menteri Siti.
Adapun, tenaga kerja langsung di HPH sekitar 26.300 orang dan pada bagian hulu HTI sekitar 21.140 orang secara langsung atau sejumlah 47.000 orang dan angka ini di luar tenaga harian lepas.
Jumlah ini akan terus meningkat dengan usaha yang lebih variatif yaitu produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. “Kita saksikan pertumbuhan yang pesat obyek-obyek ekowisata dengan adanya pemandangan yang indah dan aksesibilitas jalan yang mudah dicapai.”
Menteri Siti semakin optimistis tenaga kerja kian terserap dengan adanya perhutanan sosial yang saat ini telah mencapai 1,92 juta hektare bagi 488.000 KK atau tidak kurang tenaga kerja terlibat sebanyak 1,46 juta tenaga kerja.
Dengan catatan tersebut, maka tidak kurang dari 3,9 juta kesempatan kerja/tenaga kerja kini berada dalam dunia usaha sektor hulu kehutanan dan bisa lebih banyak lagi bila dikaitkan dengan sektor usaha forward dan backward linkage-nya.
KLHK akan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata lebih lanjut tentang data ketenagakerjaan dimaksud.
“Diperkirakan pada tahun 2019, sekitar 1,5 juta tenaga kerja akan terserap dari upaya rehabilitasi lahan, serta dari kewajban reklamasi pengusaha tambang pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH),” jelas Menteri Siti.