Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pedagang Bakso Apresiasi Pelonggaran PPKM

Di penghujung penerapan PPKM Level 4, pedagang kembali mengharapkan sejumlah kelonggaran. Pasalnya, meskipun layanan dine-in telah diperbolehkan, penjualan dilaporkan belum mengalami perbaikan. Tak hanya itu, pedagang juga mengeluhkan sepinya penjualan secara daring.
Ilustrasi: Pedagang bakso /Bisnis.com
Ilustrasi: Pedagang bakso /Bisnis.com

Bisnis.com, SEMARANG – Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (Apmiso) Indonesia mengapresiasi sejumlah pelonggaran selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 berlangsung.

“Paling tidak ada sebuah perubahan. Setelah diberlakukan PPKM [Darurat], kemudian ada pengenduran. Penjual saat ini sudah ada harapan dari pembeli,” jelas Lasiman, Ketua Apmiso Indonesia, Senin (02/08/2021).

Meskipun demikian, Lasiman mengungkapkan bahwa sejumlah pelonggaran yang diberikan pemerintah selama PPKM Level 4 masih belum signifikan mendatangkan konsumen.

“Walaupun sudah diberi kelonggaran bisa makan [dengan kapasitas pengunjung] 50 persen di warung, bisa duduk [dine-in] sampai 20 menit. Tapi tetap, rasa takut konsumen itu masih ada. Jadi selama ini sepi-sepi saja,” jelasnya ketika dihubungi Bisnis.

Lasiman mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang membuat urung untuk memesan makanan secara dine-in. Faktor utamanya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan resiko penyebaran Covid-19 di luar rumah.

“Mereka [konsumen] sudah bisa mengatur diri atau takut untuk keluar. Takut untuk makan di luar, terutama makan di warung. Karena memang dari berbagai informasi memang menyarankan masyarakat tetap di rumah, jangan pergi-pergi, lebih-lebih jangan makan di luar rumah. Konsumen sudah terbiasa,” jelas Lasiman.

Sayangnya, rendahnya minat masyarakat untuk memesan makanan secara dine-in tidak diikuti dengan penjualan secara daring melalui aplikasi ojek online.

“Kenapa saat belum PPKM, kemudian belum merajalela Covid-19 ini, di warung-warung penuh dengan [pesanan] GoFood dan seterusnya. Sekarang itu sepi. Gojek saja gak ada,” jelas Lasiman.

Kondisi tersebut tak hanya dirasakan Lasiman selaku pedagang bakso. Kinerja sektor usaha akomodasi dan makan minum di Jawa Tengah memang dilaporkan masih mengalami kontraksi.

Berdasarkan Laporan Perekonomian Jawa Tengah yang dirilis Bank Indonesia pada Mei 2021 lalu , pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah pada sektor akomodasi dan makan minum diperkirakan masih mengalami kontraksi hingga 4,57 persen pada tahun ini.

Proyeksi tersebut memang jauh lebih baik ketimbang tahun sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2020, kinerja pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Tengah pada sektor usaha akomodasi dan makan minum sempat terkontraksi hingga 7,98 persen.

Kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi nasib dari ratusan ribu pekerja di sektor usaha makanan dan minuman di Jawa Tengah, terutama yang berada dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, sektor usaha tersebut dilaporkan memiliki 619.574 tenaga kerja. Angka tersebut jadi yang terbanyak apabila dibandingkan dengan sektor usaha lainnya dalam kategori UMKM.

Pada tahun 2019, setidaknya ada 292.499 UMKM di sektor makanan dan 7.969 UMKM di sektor minuman. Masing-masing dilaporkan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 603.867 orang dan 15.707 orang.

Di penghujung penerapan PPKM Level 4, Lasiman sebagai pelaku usaha hanya bisa berharap pada pemerintah. Sejumlah pelonggaran memang ditunggu pedagang sepertinya. Meskipun demikian, yang terpenting adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui pengendalian kasus Covid-19.

“Harapan pedagang itu ya menginginkan adanya pemulihan kepercayaan masyarakat. Sehingga tidak takut untuk keluar, untuk makan di warung, tidak takut kalau berbelanja. Tentunya, dengan syarat memang [kasus penyebaran] Covid-19 harus menurun. Harus terkendali dan syukur kalau bebas [dari Covid-19], khususnya di Kota Semarang dan Jawa Tengah,” ucap Lasiman.

Lasiman tak memungkiri, bahwa pengambil kebijakan mungkin merasakan dilema yang sama. Sejumlah pengetatan kegiatan masyarakat, menurut Lasiman, terpaksa dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19. “Itu hal yang baik menurut saya, tapi tidak baik bagi pedagang,” tambahnya.

Aspek kesehatan dan ekonomi mesti bisa berjalan beriringan. Tak hanya di sektor usaha besar seperti industri manufaktur, tapi juga UMKM yang banyak dikelola masyarakat.

“Katakanlah sehat tok nek ora nduwe duit yo susah. Tapi nduwe duit nek sakit yo sama saja. (sehat saja tapi tidak punya uang akan susah, tapi punya uang tapi sakit ya sama saja). Artinya, kesehatan tetap terjaga, tetapi pemasukan juga mesti ada,” jelas Lasiman sambil berkelakar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper