Bisnis.com, JEPARA – Sate kerbau adalah salah satu kuliner khas wilayah Kudus dan Jepara. Popularitasnya tak bisa dilepaskan dari pengaruh ajaran Islam yang disebarkan Wali Songo, khususnya Sunan Kudus.
Alkisah, ketika menyebarkan agama Islam di pesisir Jawa Tengah, Sunan Kudus melarang keluarga dan pengikutnya untuk menyembelih sapi. Baik untuk dikonsumsi ataupun untuk dijadikan hewan kurban. Pasalnya, pada saat itu, mayoritas masyarakat Jawa memeluk agama Hindu.
Sunan Kudus ingin menyampaikan pesan toleransi kepada pengikutnya. Dengan harapan, masyarakat yang beragama Islam ataupun Hindu dapat hidup dengan akur. Meskipun memiliki sejumlah perbedaan.
Beratus-ratus tahun kemudian, ajaran Sunan Kudus tersebut mulai mempengaruhi gastronomi di sekitar Kudus dan Jepara. Kuliner berbahan dasar daging sapi mulai jarang ditemui. Sementara itu, olahan daging kerbau makin laris. Salah satunya adalah olahan sate kerbau.
Di Jepara, terdapat warung sate kerbau legendaris, namanya Warung Sate Kerbau H. Darno. Warung tersebut sudah mulai berjualan sejak tahun 1972. Awalnya, H. Darno, hanya berjualan di sekitar alun-alun Kota Jepara.
“Pertama itu di dekat alun-alun. Tetapi sekarang tempatnya sudah dijadikan klinik center. Dulunya itu bioskop untuk nonton film. Mbah dulu berjualan dengan cara dipikul,” jelas Dwi Kundarso, cucu dari H. Darno kepada Bisnis, Kamis (5/8/2021).
Baca Juga
Dwi mengungkapkan bahwa sebelum pandemi Covid-19, warung sate kerbau tersebut bisa melayani pesanan hingga 1.000 tusuk setiap harinya. Kini, akibat sejumlah pembatasan, penjualan mengalami penurunan hingga separuhnya.
Larangan acara kebudayaan serta pernikahan selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga berimbas pada usaha yang kini dijalankan Dwi. Pasalnya, warung sate kerbau tersebut juga melayani catering untuk acara-acara khusus.
“Saat pandemi ini pesanan catering benar-benar kosong. Padahal, sebelum pandemi itu bisa sampai Kudus, Yogyakarta, sampai Jakarta juga,” ungkap Dwi.
Dalam sehari, Dwi mesti menyiapkan 10 kilogram daging kerbau. Jika beruntung, Dwi bahkan mesti menyiapkan 15 kilogram daging. Tak sulit untuk mencari bahan baku utama tersebut, karena di Jepara sendiri peternak kerbau masih banyak ditemui.
Berbeda dengan sate kambing atau sate ayam, daging kerbau mesti digiling terlebih dahulu sebelum diolah menjadi sate. Selain daging, Dwi juga mencampurkan gula jawa serta bumbu-bumbu lainnya.
Proses penggilingan dan campuran bumbu itu menghasilkan citarasa yang khas. Manis, gurih, dengan tekstur daging yang empuk. Tak seperti daging kerbau, yang cenderung keras.
Kini, setelah pemerintah memberikan pelonggaran PPKM, penjualan sate kerbau mulai berangsur pulih. “Ya sudah mulai ada pelanggan. Sedikit-sedikit. Pesanan online satu dua sudah mulai masuk,” ungkap Dwi.
Dwi berharap agar pandemi Covid-19 bisa segera berakhir, sehingga penjualan sate kerbaunya dapat normal kembali. Tak hanya itu, Dwi juga berharap agar usahanya tersebut bisa terus berjalan hingga ke generasi berikutnya. “Harus ada yang melanjutkan, kalau tidak putus nanti [sejarahnya],” pungkasnya.