Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pantura dalam Bayang-bayang Krisis Lingkungan

Ekstraksi air tanah meningkatkan risiko tenggelamnya kota-kota di pesisir utara Jawa Tengah.
Ilustrasi. Warga menggunakan ban bekas untuk melintasi banjir rob yang merendam Terminal Bus Terboyo di Semarang, Jawa Tengah./Antara-Aditya Pradana Putra
Ilustrasi. Warga menggunakan ban bekas untuk melintasi banjir rob yang merendam Terminal Bus Terboyo di Semarang, Jawa Tengah./Antara-Aditya Pradana Putra

Bisnis.com, SEMARANG – Fenomena penurunan muka tanah atau land subsidence di wilayah pesisir Jawa Tengah menjadi momok yang perlu diantisipasi berbagai pihak. Pasalnya, apabila terus dibiarkan, wilayah tersebut bisa tenggelam.

Masalah tersebut dikonfirmasi oleh Pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, seperti dikutip dari JIBI, yang memprediksikan bahwa penurunan tanah di kawasan pesisir Jawa Tengah bakal menenggelamkan Semarang, Demak, dan Pekalongan. Bahkan jauh lebih dulu ketimbang Kota Jakarta, yang sebelumnya disinggung Joe Biden, Presiden Amerika Serikat, bakal tenggelam pada 10 tahun ke depan.

Urgensi pencegahan krisis lingkungan tersebut menjadi kian mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, selama ini, kawasan pantura telah menjadi tulang punggung jalur transportasi dan logistik di Pulau Jawa. Terlebih, ketika mega proyek Tol Trans-Jawa terealisasi. Dimana jalan tol dengan panjang lebih dari 1.000 kilometer bakal membentang di wilayah utara Pulau Jawa.

Tak hanya transportasi dan logistik, aktivitas manufaktur di Jawa Tengah juga terpusat di kawasan pantura. Dari tujuh kawasan industri di Jawa Tengah yang tercatat Kementerian Perindustrian RI, lebih dari separuhnya berada di wilayah pesisir. Seperti Kawasan Industri Wijayakusuma, Tanjung Emas Export Processing Zone, dan Kawasan Industri Terboyo yang berlokasi di pesisir Kota Semarang.

Ada pula Jawa Tengah Land Industrial Park di Sayung, Demak, juga Kawasan Industri Kendal yang berbatasan langsung dengan pesisir utara Jawa Tengah. Hingga hari ini, pembangunan kawasan industri di pesisir Jawa Tengah masih terus dilakukan. Sebut saja Kawasan Industri Terpadu Batang dan Kawasan Industri Aviarna yang berlokasi di Kota Semarang.

Tak hanya industri berskala besar, krisis lingkungan tersebut juga mengancam kehidupan 12.507 rumah tangga nelayan di Jawa Tengah. Slamet Ari Nugroho, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang, bahkan menyebut bahwa dalam penurunan muka tanah memperparah efek banjir rob yang sering terjadi di wilayah pesisir.

“Masalah rob ini sudah hampir dua tahun terakhir menggenang perkampungan nelayan. Dimana nelayan jadi kesulitan membawa hasil tangkapan dan mengolah hasil tangkapan. Karena yang mengolah itu ibu-ibu, kalau rumah tergenang jadi susah,” jelas Ari ketika dihubungi Bisnis, Minggu (22/8/2021).

Dalam tiga tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan terjadinya banjir rob akibat gelombang pasang di Jawa Tengah. Pada tahun 2018, bencana tersebut sempat nihil terjadi. Namun, di tahun berikutnya, dilaporkan tiga kejadian bencana akibat gelombang pasang. Pada 2020, jumlahnya meningkat jadi lima kejadian.

Menurut catatan Bisnis, pada Desember 2020, sedikitnya ada 13 rumah di kawasan pesisir Tambak Lorok, Kota Semarang, yang rusak akibat gelombang pasang tersebut. Tingginya gelombang laut diperparah dengan jebolnya tanggul penahan gelombang. Tak hanya merusak rumah warga, bencana tersebut juga merusak kapal nelayan di wilayah tersebut.

Bencana tersebut tidak hanya memberikan dampak negatif bagi perekonomian nelayan di pesisir, tapi juga dampak kesehatan. “Semisal tergenang [akibat banjir rob], kaki jadi gatal-gatal. Masyarakat juga jadi rawan terpeleset dan jatuh, ada risiko seperti itu. Ketika musim ombak, rumah warga bisa rusak,” jelas Ari.

Aktivitas ekstraksi atau pengambilan air bawah tanah menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya penurunan muka tanah. Di beberapa daerah seperti di Kota Pekalongan, langkah tersebut terpaksa dilakukan karena minimnya akses air bersih.

“Kota pekalongan ini memang tidak memiliki sumber air permukaan, semuanya mengambil dari air tanah. PDAM, sektor industri, kegiatan perhotelan, dan sebagainya yang mengambil air tanah secara massif,” jelas Anita Heru Kusumorini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, seperti dikutip dari jatengprov.go.id pada pekan lalu (16/8/2021).

Untuk mengatasi penurunan muka tanah di wilayah tersebut, Pemerintah Kota Pekalongan pun mengeluarkan moratorium atau penangguhan rekomendasi pengambilan air bawah tanah. “Terutama di wilayah [Kota Pekalongan bagian] utara. Sedangkan untuk gedung bertingkat juga sudah ada pengaturannya seperti yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pekalongan, [yakni] mengenai lokasi bangunan maksimal itu bisa sampai berapa lantai sebenarnya sudah ada,” jelas Anita.

Anita juga menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Pekalongan terus berupaya menemukan solusi yang tepat. Pasalnya, fenomena land subsidence tak bisa diselesaikan hanya dengan sebuah moratorium.

“Kita harus mencari alternatif-alternatif lainnya, seperti memanfaatkan sumber-sumber air yang ada di Kota Pekalongan, baik dari sungai. Kemudian Kota Pekalongan juga ada longstorage di tanggul rob. Termasuk nanti pembangunan kolam retensi untuk penanganan banjir dan rob itu. Jika sudah jadi dimungkinkan airnya bisa diolah menjadi air bersih,” jelasnya.

Peneliti Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Mila Karmilah, sepakat dengan langkah yang dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan. Menurutnya, kebijakan yang bersifat preventif mesti dilanjutkan dengan kebijakan dan solusi yang berkelanjutan.

“Moratorium itu tidak menghentikan penurunan muka tanah. Boleh dilakukan, tapi harus memberikan alternatif lain. Misalnya apakah kemudian pengambilan air permukaan, ada teknologi recharging air, atau air daur ulang. Jadi mereka punya pilihan,” jelas Mila, Minggu (22/8/2021). 

Mila mengungkapkan bahwa pembatasan dan pelarangan penggunaan air bawah tanah mestinya tak menyasar masyarakat umum saja. Namun, kebijakan tersebut lebih ditujukan kepada pelaku industri dan perhotelan. “Kalau hanya masyarakat, tidak terlalu besar [dampaknya]. Yang menyebabkan penurunan muka tanah yang signifikan itu adalah industri dan hotel. Itu yang harus dipikirkan. Pembatasan harus dilakukan, di awal. Tetapi harus diikuti pelarangan dan solusi,” jelasnya.

Kebijakan pembatasan dan pelarangan penggunaan air bawah tanah, menurut Mila, mestinya juga diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pasalnya, kebijakan di tingkat provinsi lebih memiliki kekuatan secara hukum. “Sehingga, itu akan menjadi kebijakan yang diikuti tak hanya oleh 2 kabupaten dan kota, tapi juga wilayah lain di pesisir [Jawa Tengah] yang kemungkinan memiliki permasalahan yang sama. Itu seharusnya kebijakan yang diturunkan dari provinsi,” jelasnya.

Untuk mengatasi penurunan muka tanah, pemerintah juga mesti melakukan pembatasan beban bangunan. Terlebih di wilayah dengan penurunan muka tanah tahunan yang tinggi. Pasalnya, menurut Mila, infrastruktur dengan beban bangunan yang tinggi ikut memperparah land subsidence.

“Memang pembangunan di Pantura itu dari awal konsepnya meminimalkan biaya. Jadi pembangunan akhirnya terpusat di wilayah pantai. Karena ada pelabuhan dan bandara. Jadi banyak pergudangan dan industri di wilayah pesisir. Ini perlu diperhatikan bagaimana pembangunan itu tidak membebani wilayah Pantura. Pengurangan beban perlu dilakukan, apalagi pembangunan jalan tol dan tanggul itu akan semakin memperparah kondisi di Pantura,” jelas Mila.

Sebelumnya, Koalisi Pesisir Kendal-Semarang-Demak (KPKSD) sempat memaparkan dampak pembangunan terhadap bencana banjir yang terjadi di Semarang pada awal tahun ini. Dalam riset tersebut, disampaikan bahwa aktivitas pembangunan di wilayah tersebut semakin memakan lahan resapan air hujan dan tutupan vegetasi. Sehingga, efeknya adalah meluasnya titik banjir di Semarang.

Pembangunan Tol Semarang-Demak, lengkap dengan infrastruktur tanggul lautnya, diperkirakan juga bakal memperparah bencana banjir dan rob di Semarang. Proyek dengan nilai investasi mencapai Rp15 triliun tersebut rencananya bakal menghubungkan wilayah Semarang-Demak melalui jalan tol sepanjang 27 kilometer.

Proyek tersebut terbagi menjadi dua seksi, seksi I jalan tol sepanjang 10,69 kilometer bakal membentang di Semarang-Sayung. Sementara seksi II, bakal menghubungkan Sayung-Demak dengan panjang mencapai 16,31 kilometer.

Dalam riset yang dilakukan KPKSD, kedua proyek tersebut justru menambah beban bangunan di wilayah tersebut. Namun, PT. PP Semarang-Demak menangkis hal tersebut. Menurut Dedy Susanto, General Manager Technical di perusahaan tersebut, penurunan muka tanah sudah masuk ke dalam variabel pembangunan dua Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Sengkarut permasalahan tersebut, menurut Mila, mestinya bisa diselesaikan dengan penataan ruang yang baik. Sekali lagi, peran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjadi cukup vital. “Jadi, ruang di pesisir sementara mungkin dalam urban design-nya tidak diperbolehkan untuk membangun dengan beban bangunan yang cukup besar. Ataupun, kalau tidak, kita bisa bicara soal plotting kawasan, tapi ini masih tahap konsep dan wacana. Kita perlu pemimpin yang visioner juga untuk melakukan ini,” jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Sumber : jatengprov.go.id, semarangpos.com
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper