Bisnis.com, SEMARANG – Arif Jatmiko bersama tujuh orang kawannya boleh dibilang merupakan pelopor budi daya maggot atau belatung dari lalat jenis black soldier fly (BSF) di Jawa Tengah.
Miko, sapaan akrabnya, telah mengenal maggot dari tahun 2008. Meskipun demikian, proses budidaya secara serius baru mulai dilakukan pada tahun 2017. Miko sendiri secara khusus bertugas untuk mengawasi proses budi daya maggot.
Sementara itu, urusan kerja sama dan pemasaran ditangani langsung oleh Yeka Johar, salah seorang kawannya. Keduanya pun bergabung dalam komunitas BSF Indonesia Raya sembari mendirikan cabang di Kota Salatiga.
Miko mengelola 100 m2 lahan budi daya maggot. Dalam sehari, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 kg maggot segar. “Untuk bibit yang dibutuhkan sebetulnya tidak terlalu banyak. Untuk 1 m2, kita paling butuh 5 gram telur. Nanti hasilnya bisa 10 kg. Semisal tidak dipanen, nanti maggot ini akan jadi pupa, akan bertambah terus,” jelasnya ketika ditemui Bisnis beberapa waktu lalu.
Pembibitan sendiri bisa dilakukan dengan 2 cara. Pertama dengan mencari lalat BSF di alam bebas. Lalat bisa ditangkap menggunakan jaring sederhana, setelah itu dirawat sampai menetaskan telur. Cara kedua adalah dengan membeli bibit langsung ke pembudidaya lain.
“Bisa dari telur, pra-pupa, fresh maggot juga bisa. Tetapi untuk mempercepat siklus, akan lebih baik membeli pra-pupa dan telurnya,” jelas Miko.
Seperti belatung pada umumnya, maggot dari lalat BSF hidup dengan mengonsumsi sampah organik. Miko mengungkapkan bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, kebutuhan sampah untuk pakan maggot bisa mencapai 1:4. Artinya, untuk 1 kg maggot, diperlukan kurang lebih 4 kg sampah organik. Angka tersebut tentunya bisa berubah sesuai kondisi yang dihadapi. Jika pembudidaya ingin meraih hasil lebih baik, asupan pakan bisa ditingkatkan. Begitu pula sebaliknya.
“Minimalnya itu 1:1, jadi setiap 1 kg maggot perlu 1 kg sampah. Itu agar tetap hidup saja,” jelas Miko.
Sampah organik yang tersedia bisa langsung dijadikan pakan maggot tanpa melalui proses pengolahan. Meskipun demikian, untuk mempercepat proses metabolisme, sampah organik bisa dicacah terlebih dahulu hingga berbentuk bubur. Proses penyacahan juga membantu pembudidaya dalam memberikan pakan. Pasalnya, pakan bisa disebarkan secara lebih merata ke setiap kolam penampungan maggot.
Miko sendiri telah memiliki kerjasama dengan pasar-pasar tradisional hingga restoran di Kota Salatiga untuk mengolah sampah organik. Karena itu, pasokan pakan sebetulnya tak jadi soal. Meskipun belakangan hari pasokan sampah organik harus terhenti akibat menurunnya kunjungan serta aktivitas masyarakat baik di restoran ataupun di pasar tradisional.
Tentunya, sampah-sampah organik tersebut bakal mengeluarkan bau yang kurang sedap. Apalagi jika lokasi pembudidayaan maggot berdekatan dengan pemukiman. Terkait hal tersebut, Miko dan kawan-kawannya telah mengembangkan metode pengolahan sampah agar bisa mengurangi bau tersebut. “Sampah organik yang masuk sebetulnya bisa langsung kita gunakan. Tetapi bisa juga kita simpan dan silase selama sehari. Itu untuk mengurangi bau, juga untuk meningkatkan nafsu makan si maggot-nya,” jelas pria tersebut.
Tingginya kebutuhan sampah organik bagi usaha budidaya maggot menjadikannya salah satu solusi alternatif bagi persoalan sampah, khususnya di Jawa Tengah. Pasalnya, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, sepanjang tahun 2020 Jawa Tengah memiliki total timbunan sampah hingga 4 juta ton. Dari data tersebut, jumlah timbunan sampah hariannya mencapai 12.668,48 ton.
Jika dilihat dari sumbernya, sampah-sampah di Jawa Tengah utamanya berasal dari sisa konsumsi rumah tangga. Persentasenya mencapai 32,64 persen dari total keseluruhan timbunan sampah. Sementara itu, jika dilihat dari jenisnya, 41,33 persen sampah di Jawa Tengah merupakan sisa makanan yang bisa diolah kembali menjadi pakan maggot.
Yeka Johar menyebut bahwa persoalan tersebut mendorongnya dan kawan-kawan di BSF Indonesia Raya untuk mempopulerkan budidaya maggot di masyarakat. “Kita ambil dari bawah dulu. Bagaimana sampah dari masyarakat ini tidak perlu berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemungut sampah juga kita bantu bagaimana supaya mereka hanya menerima plastik, supaya tidak perlu memilah sampah lagi,” jelasnya.
Peluang usaha dari budidaya maggot tersebut juga cukup menjanjikan. Harga maggot yang telah dikeringkan bisa mencapai Rp5.000-7.000 per kilogram. Sedangkan biaya operasionalnya, menurut Yeka, ditaksir sekitar Rp2.000-3.000 per kilogram maggot. Meskipun demikian, untuk memulai bisnis tersebut, diperlukan modal dan investasi yang lumayan. “Di luar lahan saja total bisa Rp25-30 juta. Kita perlu chopper untuk mengolah pakan, greenhouse, bio-pond, juga insektariumnya. Itu full menggunakan plastic UV semua, sama jaring serangga,” jelas Yeka Johar.
Menurut hitung-hitungan Yeka Johar dan kawan-kawannya, keuntungan bersih yang bisa dinikmati pembudidaya maggot berkisar di angka Rp3-4 juta per bulannya. Dengan syarat, maggot yang dijual sudah diolah kembali. Yeka menyangsikan peluang Break Even Point (BEP) dari menjual produk maggot dalam bentuk hidup. Pasalnya, di pasaran dalam negeri sendiri harganya masih terlalu rendah.
Baca Juga
Meskipun menjanjikan secara ekonomis, Yeka Johar sendiri tak menyarankan pembudidayaan maggot secara independen. Menurutnya, pembudidayaan maggot akan jauh memberikan manfaat apabila dilakukan bersamaan dengan usaha peternakan ataupun perikanan.
“Keuntungannya sebenarnya ada di situ. Maggot sebagai substitusi pakan pabrikan bagi peternak ayam dan ikan. Katakanlah peternak hanya menggunakan 60 persen pakan pabrik, sisanya maggot. Ini akan jauh lebih untung, karena ada margin dari sumber pakan. Syaratnya itu tadi, maggot-nya harus dikembangkan sendiri,” jelas Yeka Johar.
Yeka Johar sendiri telah membayangkan sistem peternakan terintegrasi tersebut sejak awal memperkenalkan budi daya maggot ke masyarakat. Maggot tak hanya bisa dijadikan sumber pakan ternak, tapi juga bisa diolah menjadi pupuk, pestisida. Bahkan, di negara-negara di Eropa, maggot kering telah banyak digunakan sebagai bahan pembuat sereal.
“Dengan sistem yang terkoneksi semua, peternakan dan budi daya maggot, ini akan sangat menguntungkan. Dalam satu wilayah, rencana kami, ada ternak maggot, ternak ayam, dan pertanian. Ini semisal bisa terkoneksi maka akan saling menguntungkan,” jelas Yeka Johar.
Keberhasilan Yeka dan Miko dalam membudidayakan maggot dari lalat BSF tersebut kini telah membuahkan hasil. Setidaknya, BSF Indonesia Raya telah berhasil memperkenalkan peluang budi daya belatung tersebut kepada dinas-dinas di tingkat kabupaten kota di Jawa Tengah. “Juga di Bali, di Denpasar mereka sedang memulai juga. Memang kebanyakan dari Dinas Lingkungan Hidup,” ucap Yeka Johar.