Bisnis.com, SOLO - Mahalnya harga kedelai impor berdampak terhadap produsen tahu dan tempe di dalam negeri.
Karena kondisi tersebut, tak sedikit para pengrajin akhirnya mengurangi produktivitasnya. Hal itu karena pasokan kedelai Indonesia tidak bisa mengandalkan dari hasil budidaya petani lokal, dimana secara kualitas dan kuantitasnya sangat rendah.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, Indonesia sangat tergantung pada impor. Bahkan sekarang impor kedelai sudah mencapai di atas 80% untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai di Indonesia.
Di tengah tingginya permintaan kedelai, negara produsen kedelai dunia yaitu Brazil dan Argentina saat ini sedang mengalami dampak kekeringan akibat La Nina.
Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Mercy Bientri Yunindanova, menjelaskan bahwa musim sangat mempengaruhi pertanian, seperti kondisi di Brazil dan Argentina pasokan kedelai turun karena kurangnya kadar air untuk pertumbuhan tanaman.
Baca Juga
Dimana kekeringan itu sangat signifikan mempengaruhi proses pertumbuhan kedelai utamanya pada awal perkecambahan dan pengisian biji.
“Kalau sudah mulai berbunga, lalu mengalami kekeringan nanti polongnya tidak terisi. Sehingga air adalah faktor penting yang mempengaruhi produksi kedelai,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang disampaikan, Senin (28/2/2022).
Solusi yang ditawarkan
Sebagai negara yang mengandalkan impor, kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi momentum. Karena semakin ke depan harga kedelai akan semakin naik dengan permintaan kedelai dunia yang tinggi karena semakin diminati di pasar dunia.
Sementara itu, kedelai di Indonesia jauh lebih rendah kualitas dan kuantitasnya, karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam.
Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah.
“Produktivitas kedelai di Indonesia rendah hanya sekitar 1,5 ton per hektar, dan maksimal 1,6 ton per hektar di Jawa. Dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton per hektar,” ujarnya.
Meskipun kedelai bukan tanaman asli Indonesia, tetapi sudah ada 85 varietas kedelai yang dikembangkan sejak tahun 1918 sampai tahun 2016. Contoh diantaranya varietas kedelai yang tahan naungan supaya bisa menanam di bawah pohon sawit dan varietas kedelai di lahan pasang surut atau payau.
Namun permasalahannya belum ada yang menanam dalam jumlah besar dan terstruktur dengan standar kualitas yang sama. Rata-rata lahan pertanian di Indonesia 0,25 hektar yang mana rentan sekali dengan serangan hama penyakit dan kendala lingkungan lainnya.
“Kita harus mencari alternatif, budidaya tidak bisa 100% mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budidaya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik. Sehingga perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati dengan kedelai. Indonesia sangat kaya dengan keanekaragam tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe,” ungkap Mercy.
Ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji selain kedelai untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe.
"Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, harus secara gradual (bertahap) mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai," katanya.
"Protein itu bisa diperoleh dari bahan makanan yang lain, bahkan diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik," tandasnya.