Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suasana Iktikaf di Masjid Tertua Yogyakarta

Masjid Gedhe Mataram yang berlokasi di Kotagede tersebut merupakan saksi bisu kejayaan Mataram Islam.
Salah satu jemaah yang beriktikaf di Masjid Gedhe Mataram, Kotagede, Bantul.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.
Salah satu jemaah yang beriktikaf di Masjid Gedhe Mataram, Kotagede, Bantul.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.

Bisnis.com, SEMARANG – Belasan orang jemaah khusyuk mengisi malam di Masjid Gedhe Mataram yang berlokasi di Kotagede, Banguntapan, Bantul. Sebagian dari mereka salat sunah, ada juga yang mengisi waktu dengan membaca Al-Quran. Sementara sisanya telah terlelap, dengan posisi tidur ataupun duduk.

Wien baru memarkirkan kendaraan roda dua miliknya di halaman masjid ketika sudah masuk dini hari. Pria paruh baya itu tinggal tak jauh dari Masjid Gedhe Mataram. Namun, kepada Bisnis Wien mengaku baru tahun ini dirinya melakukan iktikaf di masjid kuno tersebut. “Ini sudah dari hari pertama iktikaf di sini. Lebih nyaman, masjidnya lebih bersih,” ujarnya dikutip, Kamis (28/4/2022).

Pada Ramadan tahun ini, Wien serta Umat Islam lainnya di Tanah Air memang diperbolehkan untuk melakukan itikaf. Setelah pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah melarang aktivitas tersebut demi mengendalikan pandemi Covid-19. Tak hanya di Masjid Gedhe Mataram, jemaah juga ikut meramaikan kegiatan iktikaf di masjid-masjid lainnya di DI Yogyakarta.

Namun demikian, Masjid Gedhe Mataram punya keunikan tersendiri yang mampu menjadi magnet bagi jemaah seperti Wien. Magnet yang dimaksud adalah nilai sejarah dari masjid tertua di Yogyakarta tersebut. Bangunan masjid sendiri masih berbentuk limas yang kental dengan aksen bangunan bergaya hindu. Jemaah yang datang juga disambut oleh gapura lengkap dengan dinding penghalang di depannya. Dinding yang disebut rana atau kelir tersebut menutupi bangunan masjid, sehingga jemaah harus memasuki komplek Masjid Gedhe Mataram untuk bisa melihat bangunan.

Panggiono, jemaah asal Imogiri, tengah khusyuk berdzikir.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.
Panggiono, jemaah asal Imogiri, tengah khusyuk berdzikir.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.

Komplek Masjid Gedhe Mataram sendiri telah mengantongi status bangunan Cagar Budaya sejak tahun 2007 lalu. Masih di dalam komplek Masjid Gedhe Mataram, terdapat pula makam raja-raja Mataram. Tak heran apabila wilayah tersebut menjadi titik temu peziarah dari berbagai daerah. Panggiono misalnya, menyempatkan diri untuk berziarah sebelum kemudian beriktikaf di masjid. “Tadi sore habis ziarah ke makam. Ini mampir sekaligus iktikaf sebentar di masjid,” ucap pria asal Imogiri tersebut.

Saksi Bisu Kejayaan Mataram Islam

Masjid Gedhe Mataram diperkirakan telah dibangun sejak periode awal pemerintahan Panembahan Senopati, raja pertama Kesultanan Mataram, sekitar tahun 1575 – 1601 Masehi. Namun demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat sumber lain yang menyebutkan bahwa masjid tersebut dibangun pada tahun 1773 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dari prasasti yang terdapat di area masjid dimana tercatat Masjid Gedhe Mataram berdiri sejak 1188 Hijriyah.

Wilayah Kotagede sendiri merupakan bekas ibukota Kesultanan Mataram yang dulunya disebut sebagai Alas Mentaok. Secara harfiah, istilah tersebut berarti Hutan Mentaok. Masyarakat Jawa memang meyakini bahwa Kesultanan Mataram berdiri di atas hutan mentaok yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Medang atau lebih dikenal dengan Kerajaan Mataram Kuno. Mentaok (Wrightia javanica) merupakan pohon dengan bunga menyerupai melati yang kini mulai jarang ditemui. Di komplek Masjid Gedhe Mataram, tersisa beberapa batang pohon mentaok yang tumbuh secara alami. Sisanya merupakan pohon yang memang sengaja dibudidayakan.

Pada masa kejayaannya, tepatnya pada periode pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram berhasil menguasai sebagian besar wilayah di Pulau Jawa. Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, hingga sebagian wilayah di Kalimantan Barat dan Pulau Sumatera. Saat itu, Kesultanan Mataram bahkan telah diakui kemerdekaannya oleh Kerajaan Belanda. Dimana kedua kerajaan tersebut sempat menjadi mitra dagang dan saling mengirimkan perwakilan untuk diangkat sebagai duta besar.

Bagian depan bangunan Masjid Gedhe Mataram yang berlokasi di Kotagede, Bantul.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.
Bagian depan bangunan Masjid Gedhe Mataram yang berlokasi di Kotagede, Bantul.-BISNIS/Muhammad Faisal Nur Ikhsan.

Tahun 1755 menjadi akhir dari sejarah Kesultanan Mataram. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, wilayah kekuasaan kesultanan tersebut dipecah menjadi dua bagian. Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Hamengkubuwana I.

Secara historis, Kesultanan Mataram merupakan leluhur dari Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, serta Kadipaten Mangkunegaran. Keempatnya dikenal dengan istilah Catur Sagotra. Dikutip dari Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI/Solopos), Sejarawan Universitas Sanata Dharma (USD) Galih Adi Utama menyebut istilah Catur Sagotra sebagai warisan dari istilah Vorstenlanden yang telah lebih dulu populer pada Zaman Kolonial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Sumber : JIBI/Solopos
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper