Bisnis.com, KLATEN — Aerostreet, merek sepatu asli Klaten, Jawa Tengah, kian memantapkan posisi sebagai brand yang secara konsisten menawarkan produk sepatu collectible items yang dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah.
Harga sepatu Aerostreet rata-rata dibanderol di angka Rp119.000. Bahkan untuk sepatu kolaborasi yang viral di media sosial dan banyak diburu para penggemar, harganya tidak jauh berbeda dengan sepatu edisi reguler.
Sepatu kolaborasi Aerostreet dan sandal Swallow yang sempat menggegerkan jagad maya, misalnya, dijual dengan harga Rp129.900. Alhasil, sepatu yang hanya diproduksi 5.000 pasang itu lenyap dalam hitungan menit.
“Kami ingin memberi kesempatan agar lebih banyak orang bisa membeli sepatu bagus dan bahkan sepatu yang diproduksi terbatas. Ukuran yang digunakan adalah bahwa karyawan kami di pabrik masih mampu membeli,” ujar Yohan, Manager RnD Aerostreet saat ditemui Bisnis di kantornya.
Setiap bulan, Aerostreet meluncurkan sepatu edisi terbatas hasil kolaborasi dengan brand lokal legendaris di Indonesia. Jumlah sepatu yang diproduksi sengaja dibatasi 5.000 pasang, meskipun permintaan membludak.
Sejumlah brand telah bekerja sama dengan Aerostreet, dan penjualannya—mengutip istilah anak zaman sekarang: ‘pecah’. Sekitar 5.000 pasang sepatu edisi kolaborasi terjual dalam hitungan menit, bahkan detik.
Baca Juga
Strategi itu berhasil menjaga popularitas Aerostreet, sehingga merek ini menjadi top of mind produk sepatu lokal dengan selling point sepatu murah berkualitas. Dengan demikian, produk-produk sepatu reguler Aerostreet juga ikut terdongkrak penjualannya.
Pendiri Aerostreet Adhitya Caesarico meyakini strategi pemasaran paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Di era digital, promosi dari mulut ke mulut itu diterjemahkan dalam bentuk review dari seorang pembeli yang puas dengan kualitas dan servis yang diberikan.
Berkolaborasi dengan berbagai brand yang terkenal membuat jangkauan konsumen Aerostreet kian meluas. Para konsumen yang puas, secara otomatis akan menjadi brand ambassador produk Aerostreet yang akan membagikan review produk kepada orang-orang terdekatnya secara gratis.
“Daripada review seorang artis atau media social influencer misalnya, seseorang akan lebih percaya dengan review yang diberikan oleh seorang teman,” ujarnya.
SEPATU SEKOLAH
Perjalanan Aerostreet dimulai dari sepatu sekolah. Sebelum dikenal sebagai sepatu fesyen, merek Aerostreet terlebih dahulu populer dengan produk sepatu sekolah dengan model sederhana dan warna serba hitam. Sepatu sekolah ini didistribusikan melalui jaringan toko offline yang sudah dibangun oleh Kustaman sejak era 1980-an.
Kustaman adalah seorang distributor produk sepatu, sandal, buku tulis, tas sekolah, dan perlengkapan sekolah yang memasok beragam produk tersebut ke toko-toko di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Produk yang dijualnya menyasar segmen masyarakat menengah ke bawah.
Pada 2015, dia memutuskan untuk mendirikan PT Adco Pakis Mas yang memproduksi sepatu sekolah yang ia beri nama Aerostreet. Sepetak lahan di Kabupaten Klaten dibangun menjadi pabrik sepatu yang seluruhnya menggunakan bahan-bahan lokal.
Didukung oleh jalur distribusi yang sudah mapan, produk sepatu sekolah Aerostreet mudah diserap pasar. Apalagi harga yang ditawarkan juga terjangkau untuk segmen pasar menengah ke bawah. Permintaan juga relatif stabil karena setiap tahun ajaran baru semua siswa pasti membutuhkan sepatu.
“Kami biasanya berproduksi setahun untuk mengejar permintaan sepatu pada tahun ajaran baru,” ujarnya.
Hingga kemudian hadirlah pandemi Covid-19 pada awal 2020, yang kemudian diikuti oleh aturan pembatasan aktivitas. Sekolah dilaksanakan secara online dari rumah masing-masing, sehingga siswa tidak butuh membeli sepatu.
Tumpukan sepatu yang sudah diproduksi menumpuk di gudang pabrik, juga mengendap di toko-toko para mitra. Aerostreet hampir bangkrut.
Di saat genting seperti itu, putra sulung Kustaman, Adhitya Caesarico, mengambil alih kendali. Ia mengganti haluan Aerostreet dari sepatu sekolah serba hitam menjadi sepatu fesyen beragam corak dan berwarna warni. And the rest is history…