Bisnis.com, SEMARANG – Kegiatan ekonomi tinggi karbon yang memicu perubahan iklim diperkirakan bakal memberikan pengaruh negatif bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara di ASEAN, tak terkecuali Indonesia.
Hendri Saparini, Ekonom Senior dari CORE Indonesia, memaparkan data dari Swiss Re Institute yang menyebutkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di ASEAN bakal mengalami penurunan 4,2 persen apabila peningkatan temperatur global sesuai dengan target Pakta Paris.
Namun demikian, apabila melenceng dari Pakta Paris, kenaikan temperatur global sebesar dua derajat celcius bakal meningkatkan penurunan PDB negara-negara di ASEAN hingga 17 persen. Hendri juga mengungkapkan skenario paling ekstrem, yaitu jika kenaikan temperatur global mencapai 3,2 derajat celcius. Bukan tidak mungkin PDB asean mengalami penurunan hingga 37,4 persen.
Dalam skenario terburuk tersebut, penurunan PDB ASEAN bakal jadi yang terdalam dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di dunia. Eropa misalnya, dalam skenario terburuk itu, hanya mengalami penurunan PDB di angka 10,5 persen. Dimana PDB dunia diperkirakan mengalami penurunan 18,1 persen.
Dampak negatif tersebut juga bakal terasa jika kegiatan ekonomi di dalam negeri berlangsung tanpa adanya intervensi maupun upaya keberlanjutan untuk mengurangi kegiatan ekonomi tinggi karbon. Tak hanya kualitas udara dan luas hutan yang memburuk, Hendri juga menyebut tingkat kemiskinan bakal bertambah akibat perubahan iklim. Antara tahun 2019 hingga 2045, PDB di Indonesia juga diperkirakan bakal mengalami penurunan di angka 6 persen setiap tahunnya.
Perubahan iklim juga berdampak langsung bagi kegiatan ekonomi di Jawa Tengah. Hendri memperkirakan kenaikan air laut bakal menyebabkan kenaikan tinggi rob antara 19-39 persen sampai tahun 2030. Risiko itu berlaku tak cuma buat Jawa Tengah, tapi juga di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, menyebut pihaknya bakal mulai memperhatikan aspek lingkungan dari kegiatan industri utamanya di Pantai Utara Jawa Tengah. Bencana banjir rob yang terjadi di kawasan Pantai Utara beberapa waktu lalu nampaknya jadi tamparan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
“Kondisi rob yang ada di Pantai Utara Jawa terutama di Tanjung Emas, Demak, Pekalongan. Ini juga mungkin bagian yang harus kita perhatikan adalah pertumbuhan industri yang ada di pantai utara Jawa. Karena memang kebanyakan industri itu ada di Pantai Utara Jawa, baik di Pekalongan, Batang, Semarang, Demak. Ini kondisinya adalah bagaimana kita juga memerhatikan terkait kondisi lingkungan,” jelas Sumarno dalam acara Central Java Investment Business Forum 2022 yang digelar Selasa (7/6/2022).
Secara khusus, untuk menangani banjir rob di kawasan pesisir, Jawa Tengah bakal melakukan sejumlah pembatasan pada kegiatan industri. Salah satunya dengan membatasi pemanfaatan air tanah dalam sebagai air baku.
“Kalau kondisi sekarang memang agak dilematis, karena posisinya tidak mungkin melarang. Karena kondisinya, penyediaan air baku untuk mengganti air tanah ini masih belum bisa menyukupi kebutuhan semua industri yang ada di utara,” jelas Sumarno.
Secara terpisah, dalam diskusi publik yang digelar beberapa waktu lalu, Heri Andreas Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebut banjir rob yang terjadi di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah sebagai gambaran awal atas krisis perubahan iklim.
“Kondisi ini sebenarnya dapat menjadi laboratorium alam bagi dunia, terkait best practice against climate change. Keberhasilan kita dalam menangani banjir rob dan penurunan tanah di Pantura adalah keberhasilan dunia dalam menangani dampak climate change atau perubahan iklim,” jelas Heri.
Heri juga memaparkan beberapa upaya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan banjir rob di Jawa Tengah. Secara jangka pendek, pembuatan tanggul, sistem polder, serta peninggian infrastruktur di pesisir bisa dilakukan. Namun demikian, solusi tersebut perlu diikuti dengan upaya jangka panjang. Yaitu dengan menyiapkan suplai alternatif untuk subsidi air tanah. Perbaikan tata ruang juga diperlukan guna mengendalikan laju penurunan tanah di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah.