Bisnis.com, SEMARANG - Buat sebagian orang, nama Tri Lomba Juang (TLJ) mungkin lebih akrab sebagai nama Gelanggang Olahraga (GOR) di Kota Semarang. Memang, nama TLJ diabadikan menjadi nama salah satu fasilitas olahraga di Kota Lumpia. Namun, ada kisah dan perjuangan yang patut diingat ketika mengingat nama itu.
Pada mulanya, TLJ merupakan kompetisi yang digelar pemerintah Orde Baru untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI. Nama tersebut merujuk pada tiga kelas pertandingan yang digelar mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Ketiga kelas itu adalah lari 8 kilometer, lari 17 kilometer, dan ditutup dengan gerak jalan sejauh 45 kilometer. Kalau disingkat, jarak perlombaan itu menyimbolkan tanggal proklamasi kemerdekaan RI yaitu 8-17-45.
Kompetisi TLJ diikuti oleh beberapa tim yang terdiri dari 45 orang anggota, ditambah lima orang anggota cadangan. Setiap tim itu bakal diadu kecepatannya dalam setiap kelas perlombaan. Perlombaan yang tak bisa dibilang enteng itu membutuhkan persiapan matang. Tak heran jika pelaksanaannya dilakukan setiap lima tahun sekali. Dimulai pada tahun 1980 dan berakhir pada 1995, tepat beberapa tahun sebelum turunnya Presiden Soeharto.
"Dulu Kota Semarang punya tim Ganesha dan V3. Dua tim ini bersaing," kenang Rusman Sayogo, atlet gerak jalan yang dulu sempat mewakili Jawa Tengah dalam kompetisi perdana TLJ di tahun 1980.
Pada mulanya, TLJ merupakan kompetisi yang digelar pemerintah Orde Baru untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI. Nama tersebut merujuk pada tiga kelas pertandingan yang digelar mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Ketiga kelas itu adalah lari 8 kilometer, lari 17 kilometer, dan ditutup dengan gerak jalan sejauh 45 kilometer. Kalau disingkat, jarak perlombaan itu menyimbolkan tanggal proklamasi kemerdekaan RI yaitu 8-17-45.
Kompetisi TLJ diikuti oleh beberapa tim yang terdiri dari 45 orang anggota, ditambah lima orang anggota cadangan. Setiap tim itu bakal diadu kecepatannya dalam setiap kelas perlombaan. Perlombaan yang tak bisa dibilang enteng itu membutuhkan persiapan matang. Tak heran jika pelaksanaannya dilakukan setiap lima tahun sekali. Dimulai pada tahun 1980 dan berakhir pada 1995, tepat beberapa tahun sebelum turunnya Presiden Soeharto.
"Dulu Kota Semarang punya tim Ganesha dan V3. Dua tim ini bersaing," kenang Rusman Sayogo, atlet gerak jalan yang dulu sempat mewakili Jawa Tengah dalam kompetisi perdana TLJ di tahun 1980.
Gogo, sapaan akrabnya, masih ingat betul iklim persaingan antar tim-tim itu dalam kompetisi TLJ. Tak cuma di Kota Semarang, persaingan itu juga menyebar hingga ke penjuru daerah di Jawa Tengah. Misalnya saja di Kota Salatiga yang pada tahun 1980-an memiliki tim atletik bernama Salatiga Dragon, atau tim Rajawali dari Kudus, Persada dari Ungaran, Lokomotif dari Magelang, hingga Migas dari Cepu.
Gogo menyebut tim-tim atletik itu saling bersaing untuk mewakili Jawa Tengah dalam kompetisi TLJ tingkat nasional yang digelar di DKI Jakarta. Bukan perkara hadiah, tapi reputasi dari tiap-tiap tim dan atlet yang jadi pertaruhan.
Sebuah lapangan sederhana di wilayah Mugas, Kota Semarang menjadi tempat berlatih atlet-atlet TLJ pada kala itu. Lapangannya sederhana dan justru menjadi kandang dari klub sepakbola PS Lowo. Namun, di lokasi itu, tak ada gengsi antar cabang olahraga. Siapapun berhak menggunakan fasilitas olahraga itu baik untuk sekedar bermain ataupun berlatih sebelum menghadapi kompetisi besar.
Gogo menyebut tim-tim atletik itu saling bersaing untuk mewakili Jawa Tengah dalam kompetisi TLJ tingkat nasional yang digelar di DKI Jakarta. Bukan perkara hadiah, tapi reputasi dari tiap-tiap tim dan atlet yang jadi pertaruhan.
Sebuah lapangan sederhana di wilayah Mugas, Kota Semarang menjadi tempat berlatih atlet-atlet TLJ pada kala itu. Lapangannya sederhana dan justru menjadi kandang dari klub sepakbola PS Lowo. Namun, di lokasi itu, tak ada gengsi antar cabang olahraga. Siapapun berhak menggunakan fasilitas olahraga itu baik untuk sekedar bermain ataupun berlatih sebelum menghadapi kompetisi besar.
"Dulu masih tradisional sekali lah. Lapangan bola, juga lapangan untuk atletik lari. Dari sini kita berusaha bagaimana caranya bisa berprestasi, jadi setiap ada lomba itu kita garisi lapangannya dengan kapur," jelas Gogo saat ditemui Bisnis.
Lapangan sederhana itu mengalami beberapa kali pergantian nama. Dari Lapangan PS Lowo ke Lapangan Atletik Mugas. Dari situ, Gogo dan kawan-kawannya berangkat ke Jakarta untuk mewakili Jawa Tengah dalam gelaran perdana TLJ tingkat Nasional. Pria itu mengaku senang dan bangga bukan main ketika rombongannya pulang sebagai juara umum. Meskipun hadiah Rp50 juta, nominal yang sangat besar pada zaman itu, sama sekali tak masuk di kantong. Namun, Gogo dan kawan-kawannya mengaku puas bisa membawa piala TLJ ke Kota Semarang.
Perasaan bangga dan senangnya itu kian memuncak ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengabadikan nama TLJ sebagai nama lapangan tempatnya berlatih. Lapangan bola itu kemudian disulap menjadi lebih baik lagi, bermodalkan hadiah yang diterima Gogo dan timnya dari Jakarta. "Ini adalah satu-satunya hasil dari teman-teman TLJ 1980, GOR mulai dibangun dengan pasir merah dan bata," ucap Gogo.
Dari gelaran perdana itu, Jawa Tengah terus muncul sebagai juara dalam hampir semua kompetisi TLJ di tingkat nasional. Tak hanya di tahun 1980, tapi juga pada tahun 1990 dan 1995. Hanya di tahun 1985 Jawa Tengah mesti mengaku kalah dari Jawa Barat yang naik sebagai juara umum. Kejadian itu pula yang menjadikan nama TLJ diabadikan di dua GOR, satu di Kota Semarang dan satu lagi di Kota Bandung ibukota provinsi Jawa Barat.
Di Jawa Tengah, nama para atlet yang mengharumkan Jawa Tengah di ajang perdana TLJ tingkat nasional juga diabadikan dalam sebuah monumen sederhana. Sayangnya, Gogo menyebut monumen itu sudah hilang setelah GOR TLJ mengalami beberapa kali renovasi. "Saya telusuri kata pegawainya pernah disimpan. Tapi sekarang sudah hilang. Itu bentuknya prasasti nama anggota tim, pelatih, official, semuanya ada," jelasnya.
Beberapa tahun lalu, Gogo bersama atlet-atlet lainnya membuat klub bernama TLJ. Tujuannya satu, untuk mengingatkan generasi muda tentang reputasi dan jiwa juara Jawa Tengah di kancah kompetisi atletik tingkat nasional. "Anak-anak yang saya latih itu tahu apa itu TLJ, karena saya ceritakan. Tetapi, banyaknya tidak tidak tahu. Karena eranya setelah Pak Harto lengser itu TLJ sudah tidak ada. 1995 terakhir itu, anak-anak kecil itu tahunya TLJ cuma klub atletik dan GOR," jelas Junadi, atlet yang juga sempat mewakili Jawa Tengah dalam gelaran TLJ tahun 1985.
Pada era Reformasi, kompetisi TLJ tingkat nasional memang benar-benar berhenti total. Namun, semangat itu masih terjaga di daerah-daerah. Bahkan, di Jawa Timur misalnya, hingga beberapa tahun lalu masih digelar kompetisi TLJ dengan pembagian kelas yang sama. "Setelah Pak Harto lengser itu masih ada di daerah-daerah. Sekarang kalau di Jawa Tengah diganti jadi gerak jalan 28K," jelas Junadi.
Kini, fasilitas olahraga di Jawa Tengah sudah jauh lebih mumpuni. GOR dibangun sampai ke daerah-daerah. Klub-klub olahraga juga banyak bermunculan. Namun, beragam fasilitas dan kemudahan itu tak berbanding lurus dengan minat generasi muda Jawa Tengah untuk berkompetisi. "Dibanding sekarang, malah lebih banyak dulu. Sekarang itu kan karena sekolahnya pulang jam 3-4 sore. Kasihan kalau pulang harus ke sini. Makanya prestasi sekarang itu kurang, lebih ke pendidikan," jelas Joko.
Kondisi itu jadi pukulan telak yang mesti diterima para juara TLJ di Jawa Tengah. Bukan soal monumen yang hilang atau tak ada lagi orang yang mengingat nama Gogo, Joko, maupun Junadi sebagai juara TLJ. Justru, kekhawatiran itu muncul karena bukan tidak mungkin di masa mendatang Jawa Tengah kehilangan reputasi dan bibit-bibit juara dalam kancah olahraga Tanah Air.
Lapangan sederhana itu mengalami beberapa kali pergantian nama. Dari Lapangan PS Lowo ke Lapangan Atletik Mugas. Dari situ, Gogo dan kawan-kawannya berangkat ke Jakarta untuk mewakili Jawa Tengah dalam gelaran perdana TLJ tingkat Nasional. Pria itu mengaku senang dan bangga bukan main ketika rombongannya pulang sebagai juara umum. Meskipun hadiah Rp50 juta, nominal yang sangat besar pada zaman itu, sama sekali tak masuk di kantong. Namun, Gogo dan kawan-kawannya mengaku puas bisa membawa piala TLJ ke Kota Semarang.
Perasaan bangga dan senangnya itu kian memuncak ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengabadikan nama TLJ sebagai nama lapangan tempatnya berlatih. Lapangan bola itu kemudian disulap menjadi lebih baik lagi, bermodalkan hadiah yang diterima Gogo dan timnya dari Jakarta. "Ini adalah satu-satunya hasil dari teman-teman TLJ 1980, GOR mulai dibangun dengan pasir merah dan bata," ucap Gogo.
Dari gelaran perdana itu, Jawa Tengah terus muncul sebagai juara dalam hampir semua kompetisi TLJ di tingkat nasional. Tak hanya di tahun 1980, tapi juga pada tahun 1990 dan 1995. Hanya di tahun 1985 Jawa Tengah mesti mengaku kalah dari Jawa Barat yang naik sebagai juara umum. Kejadian itu pula yang menjadikan nama TLJ diabadikan di dua GOR, satu di Kota Semarang dan satu lagi di Kota Bandung ibukota provinsi Jawa Barat.
Di Jawa Tengah, nama para atlet yang mengharumkan Jawa Tengah di ajang perdana TLJ tingkat nasional juga diabadikan dalam sebuah monumen sederhana. Sayangnya, Gogo menyebut monumen itu sudah hilang setelah GOR TLJ mengalami beberapa kali renovasi. "Saya telusuri kata pegawainya pernah disimpan. Tapi sekarang sudah hilang. Itu bentuknya prasasti nama anggota tim, pelatih, official, semuanya ada," jelasnya.
Beberapa tahun lalu, Gogo bersama atlet-atlet lainnya membuat klub bernama TLJ. Tujuannya satu, untuk mengingatkan generasi muda tentang reputasi dan jiwa juara Jawa Tengah di kancah kompetisi atletik tingkat nasional. "Anak-anak yang saya latih itu tahu apa itu TLJ, karena saya ceritakan. Tetapi, banyaknya tidak tidak tahu. Karena eranya setelah Pak Harto lengser itu TLJ sudah tidak ada. 1995 terakhir itu, anak-anak kecil itu tahunya TLJ cuma klub atletik dan GOR," jelas Junadi, atlet yang juga sempat mewakili Jawa Tengah dalam gelaran TLJ tahun 1985.
Pada era Reformasi, kompetisi TLJ tingkat nasional memang benar-benar berhenti total. Namun, semangat itu masih terjaga di daerah-daerah. Bahkan, di Jawa Timur misalnya, hingga beberapa tahun lalu masih digelar kompetisi TLJ dengan pembagian kelas yang sama. "Setelah Pak Harto lengser itu masih ada di daerah-daerah. Sekarang kalau di Jawa Tengah diganti jadi gerak jalan 28K," jelas Junadi.
Kini, fasilitas olahraga di Jawa Tengah sudah jauh lebih mumpuni. GOR dibangun sampai ke daerah-daerah. Klub-klub olahraga juga banyak bermunculan. Namun, beragam fasilitas dan kemudahan itu tak berbanding lurus dengan minat generasi muda Jawa Tengah untuk berkompetisi. "Dibanding sekarang, malah lebih banyak dulu. Sekarang itu kan karena sekolahnya pulang jam 3-4 sore. Kasihan kalau pulang harus ke sini. Makanya prestasi sekarang itu kurang, lebih ke pendidikan," jelas Joko.
Kondisi itu jadi pukulan telak yang mesti diterima para juara TLJ di Jawa Tengah. Bukan soal monumen yang hilang atau tak ada lagi orang yang mengingat nama Gogo, Joko, maupun Junadi sebagai juara TLJ. Justru, kekhawatiran itu muncul karena bukan tidak mungkin di masa mendatang Jawa Tengah kehilangan reputasi dan bibit-bibit juara dalam kancah olahraga Tanah Air.