Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Srinthil, Emas Hijau yang Jadi Buruan Kolektor Tembakau

Grader tembakau banyak yang mengoleksi srinthil. Dalam tradisi masyarakat Jawa, jenis tembakau itu dianggap pulung atau keberuntungan yang tak terduga.
Petani tembakau tengah membawa tembakau yang sudah dipanen untuk kemudian diolah dan dikirimkan ke pabrik-pabrik rokok. /Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan.
Petani tembakau tengah membawa tembakau yang sudah dipanen untuk kemudian diolah dan dikirimkan ke pabrik-pabrik rokok. /Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan.

Bisnis.com, SEMARANG — Dibukanya gudang-gudang milik para pengepul menjadi penanda dimulainya periode musim panen raya tembakau yang biasa jatuh pada Agustus-September. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya, tembakau yang dihasikan petani di Kabupaten Temanggung relatif berkualitas rendah, berkat fenomena cuaca El Nino pada tahun ini kualitas tembakau diprediksikan bakal meningkat.

Faktor cuaca memang punya pengaruh besar pada kualitas tembakau yang dihasilkan petani. Komoditas itu dikenal punya ketahanan yang cukup baik dengan kondisi terik panas sekalipun. Namun demikian, jika dihadapkan pada cuaca basah, kualitasnya bakal anjlok.

El Nino dengan karakteristik kemarau kering yang relatif panjang tentunya membawa angin segar buat petani. Selain menopang kebutuhan sinar matahari pada proses pengolahan tembakau, kemarau kering itu diharapkan melahirkan tembakau kelas wahid yang dikenal sebagai srinthil.

Srinthil adalah anomali. Tak banyak penelitian yang bisa menjelaskan dengan gamblang mengapa tembakau-tembakau yang ditanam di dataran tinggi Kabupaten Temanggung bisa menghitam dan mengeluarkan aroma yang kuat setelah diolah. Itulah sebabnya petani-petani di Jawa menyebut srinthil sebagai pulung. Istilah buat menggambarkan keberuntungan atau berkah yang tak bisa diduga dan dinalar.

Muhammad Faisal Akbar, peneliti dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, menyebut istilah tembakau srinthil sendiri berasal dari gabungan dua kata, yaitu "Sri" dan "Nginthil". "Sri" dalam kepercayaan masyarakat Jawa, adalah dewi kesuburan yang erat kaitannya dengan aktivitas pertanian. Sementara "Nginthil" berarti mengikuti dalam bahasa Jawa. Gabungan keduanya dapat dimaknai sebagai keberadaan Dewi Sri yang menempel pada tembakau. 

Kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjut melekat pada tembakau srinthil menjadi nilai tambah tersendiri bagi komoditas tersebut. Wajar jika kemudian banyak pengepul dan penggemar tembakau yang menjadikan srinthil sebagai barang buruan. Baik untuk dijual kembali atau untuk dikoleksi.

Noor Affan, salah seorang pengepul tembakau di Kabupaten Temanggung, mengakui bahwa srinthil punya karakter tersendiri yang menarik buat dikoleksi. "Daunnya itu beraroma strong, dari jauh bisa tercium. Kalau ada tembakau yang dari daerah tinggi, satu keranjang saja, itu aromanya akan tercium segudang," jelasnya saat ditemui Bisnis.

Affan sendiri punya satu gudang seluas satu hektare. Di musim seperti sekarang ini, para petani bakal berdatangan buat menawarkan tembakau hasil panennya. Hal tersebut jadi pengecualian buat tembakau srinthil. Bagi pria itu, mustahil buat mendapatkan tembakau kualitas wahid itu tanpa berburu dan mengenal petani di pelosok-pelosok. 

"Untuk tembakau sekelas srinthil itu harus pesan terlebih dulu. Karena rata-rata, orang main-main dengan dikasih gula lah, diakali. Maka saya cari dan pesan langsung, harus benar-benar tahu dan mengerti petani yang menanam dan proses perawatannya," jelas Affan. 

Ada beberapa karakter srinthil yang jadi favorit Affan untuk kemudian dikoleksi. Misalnya, tembakau-tembakau yang masih diolah secara tradisional. Baik dari proses penanaman, perawatan, hingga pengolahan pascapanen. "Dari tembakaunya juga sudah terlihat berkelas, daun tembakaunya itu berwarna kebiruan," ungkapnya. 

Selain perkara karakter dan kelangkaan, Affan juga punya alasan lain buat mengoleksi srinthil. "Supaya anak saya tahu, bahwa orangtuanya ini bekerja secara profesional," ucapnya.

Meskipun keempat anaknya belum punya ketertarikan khusus buat mengurus tembakau, namun Affan yakin betul bahwa srinthil-srinthil koleksinya bakal menginspirasi dan memotivasi anak-anaknya itu untuk bekerja keras. 

Lain cerita dengan Jopie Samiadji, grader tembakau sekaligus pengelola gudang perwakilan PT Djarum di Kabupaten Temanggung, yang mengaku kalau koleksi srinthilnya itu tak jauh berbeda dengan kegemaran orang Jawa dalam merawat hewan peliharaan seperti burung perkutut atau ayam jago.

"Saya senang dengan tembakau grade tinggi, termasuk yang orang bilang srinthil itu. Kalau sudah senang, biasanya tidak saya kasih ke pabrik. Saya simpan sendiri sebagai kepuasan batin," ucap Jopie. 

Pria yang sudah berumur itu lebih mencari citarasa srinthil yang khas dari Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. "Srinthil dari Gunung Sindoro itu antep (berat), langsung terasa di dada. Tetapi kalau dari Sumbing, itu beratnya di kepala. Pertama sepertinya enak, sampai setengah linting bisa muntah itu. Nikotinnya terlalu tinggi," jelas Jopie. 

Jopie menjelaskan bahwa kelas atau grade tembakau dimulai dari Kelas A hingga G. Di Kabupaten Temanggung sendiri, kelas tembakau yang dihasilkan minimal di Kelas D. Namun demikian, konon, pada tahun 1970-an srinthil dari Kabupaten Temanggung bisa melampaui Kelas G dan masuk dalam kategori Kelas I, saking baiknya kualitas tembakau yang dihasilkan. "Tapi Kelas G-I kalau kita jadikan rokok ya sama saja fungsinya, hanya menang penamaan saja," tambahnya. 

Tembakau jenis srinthil memang berfungsi sebagai campuran dalam produksi rokok pabrikan. Jopie menjelaskan, dengan aroma dan kandungan nikotin yang tinggi, mustahil buat menikmati srinthil dalam bentuk rokok. "Saya pernah coba, tapi satu dua isapan saja," tambahnya. 

Kolektor tembakau seperti Jopie dan Affan mesti merogoh kocek yang tidak sedikit buat memuaskan perburuannya itu. Kalau tembakau Temanggung biasa dibanderol di harga Rp40.000-80.000/kg, untuk srinthil harganya bisa melejit sampai minimal Rp300.000/kg. Buat srinthil yang punya karakter dan keunikan tersendiri, harganya bahkan bisa menyentuh angka jutaan rupiah per kilogramnya. Harga yang barangkali tak pernah disangka petani bisa masuk ke kantong pribadi mereka.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper