Bisnis.com, SEMARANG - Reforma agraria yang dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) NO.5/1960 masih menyisakan banyak persoalan. Di Kota Semarang, tepatnya di Desa Tambakrejo, program tersebut membawa harapan tersendiri bagi masyarakat kelas bawah yang mesti tergusur dari kampungnya.
"Pesisir Semarang masih tetap ada banjir, rob, dan orang seperti di Tambakrejo mereka belum punya kepastian hak untuk tanah itu," ucap Bosman Batubara, peneliti Utrecht University, seusai memberikan paparan dalam acara diskusi yang digelar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi, Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, pada Jumat (15/11/2024).
Bosman menjelaskan bahwa masalah tersebut tak cuma dirasakan oleh masyarakat di Desa Tambakrejo. Masih ada beberapa desa seperti di Timbulsloko, Petemesan, Mangkang, serta Kauman. Selain warga desa, ada pula 17 kelompok nelayan di Kecamatan Tugu dan Rejosari di Kabupaten Demak yang sama-sama mesti kehilangan kampung akibat erosi.
"Kami sekarang berada dalam satu skema program reforma agraria perkotaan, itu legal, ada Perpres-nya. Salah satu keinginan atau aspirasi dari kampung seperti Tambakrejo, tanah itu menjadi milik kolektif. 97 Kepala Keluarga (KK), tetapi di atasnya ada kepemilikan bangunan secara personal dan area tangkap kolektif sepanjang sungai," tutur Bosman.
Untuk mengurai permasalahan itu, Bosman menyebut bahwa Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat kota maupun provinsi sejatinya bisa memainkan peran lebih. Sayangnya, selama ini gugus tugas itu masih berkutat pada persoalan sertifikasi tanah. Padahal, Bosman menyebut bahwa isu reforma agraria tak berhenti pada redistribusi lahan semata.
"Itu kan permasalahan agraria, dalam pengertian bukan cuma tanah, [tetapi juga] bagi penghidupan warga negara ini. Agraria bukan soal memberikan sertifikat a-b-c, tetapi juga bagaimana mengurusi orang-orang ini soal hidupnya," jelas Bosman.
Sebagai informasi, Tambakrejo merupakan sebuah desa yang pertama kali dihuni warga pada tahun 1970-an. Lokasinya berada tepat di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) dan kerap menimbulkan konflik antara warga dengan pemerintah daerah. Tak hanya membuat rumah, warga sekitar juga ikut membuat rumah ikan atau rumpon sebagai mata pencaharian mereka di sekitar sungai.
Pada tahun 2019 silam, Ganjar Pranowo yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah sempat memediasi konflik antara warga Tambakrejo dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juwana. Perundingan itu merupakan efek dari penggusuran 97 rumah warga yang kemudian membuat mereka terkatung-katung dan terpaksa tidur di tenda-tenda pengungsian. Masalah tersebut akhirnya rampung setelah dicapai kesepakatan bahwa warga yang tergusur dari kampungnya bakal menerima rumah pengganti di daerah Kalimati yang tak jauh dari lokasi penggusuran.
Tak Hanya Sertifikasi Tanah, Reforma Agraria Mesti Sentuh Kehidupan
Di Kota Semarang dan wilayah lainnya, reforma agraria mestinya jadi solusi dari permasalahan yang lebih besar dari sertifikasi lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : M Faisal Nur Ikhsan
Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
2 jam yang lalu
Bapenda Jateng Raih Penghargaan di KIP Awards 2024
2 jam yang lalu