Bisnis.com, SEMARANG – Suminto terlihat rapi sore itu, Minggu (30/9/2018). Mengenakan celana berwarna cokelat muda dan t-shirt warna biru, pria asal Klaten itu berdiri di samping gerobak dorong yang berada di salah satu gang masuk Kelurahan Gabahan, Kota Semarang.
Meski telah terlihat rapi, Suminto tak kunjung bergerak. Usut punya usut, Suminto ternyata tengah menunggu setoran sejumlah makanan untuk dijajakan dalam gerobaknya.
“Ini masih nunggu sate sama gorengan lain. Nanti kalau sudah lengkap tinggal jalan,” ujar Suminto saat berbincang dengan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) di Kampung Gabahan, Kota Semarang.
Suminto merupakan satu di antara puluhan pedagang aneka jenis makanan yang kerap menjajakan dagangannya keliling Kota Semarang dengan menggunakan gerobak dorong. Pedagang aneka jenis makanan dengan gerobak dorong itu sangat populer di Semarang, dan kerap dijuluki pedagang gilo-gilo.
Gilo-gilo berasal dari kata Gi Lo Ono atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘Ini Lo Ada’. Julukan itu diberikan masyarakat Kota Semarang untuk mengambarkan betapa lengkapnya aneka jenis makanan yang disajikan para pedagang itu.
Dalam gerobak dorong para pedagang gilo-gilo itu memang tersedia aneka makanan, mulai dari gorengan, sate kerang, nasi bungkus, hingga buah-buahan. Aneka jenis jajanan itu dijual dengan harga yang murah, mulai Rp1.000.
Pelanggan pedagang gilo-gilo pun bermacam-macam. Mulai dari pegawai kantoran, karyawan swasta, mahasiswa, buruh serabutan, hingga sopir becak yang berada di pusat-pusat keramaian.
“Setiap hari saya jualan di Pleburan, dekat kampus Undip bawah [pascasarjana]. Lumayan ramai. Bisa dapat Rp100.000-Rp150.000 per hari. Lumayan buat keluarga di kampung,” tutur Suminto.
Suminto bukan satu-satunya pedagang gilo-gilo yang tinggal di Kampung Gabahan. Total ada sekitar 14 pedagang gilo-gilo yang bermukim di Gabahan.
Ketua RT 002/RW 004 Kelurahan Gabahan, Sugianto, 40, menyebutkan ada sekitar 14 pedagang gilo-gilo yang tinggal di kampungnya. Mereka sebagian besar merupakan kaum boro yang datang dari Klaten.
“Awalnya mereka datang ke sini tahun 1930-an. Dulu jualannya pakai gerobak pikul. Lambat laun, seiring perubahan zaman, gerobaknya diganti dorong,” ujar Sugianto.
Generasi ketiga
Sugianto menambahkan sejak 1930-an itu banyak kaum boro yang datang ke kampungnya untuk menjadi penjual gilo-gilo. Rata-rata mereka dibawa sanak keluarga atau teman sekampungnya.
“Yang masih ada di sini itu merupakan generasi ketiga. Generasi pertama rata-rata sudah meninggal atau pulang ke kampungnya di Klaten. Bahkan, konon mantan Bupati Klaten, Sunarna, ayahnya pernah jualan gilo-gilo dan menetap di sini. Namanya Pak Tri kalau enggak salah,” beber Sugianto.
Sugianto mengatakan keberadaan pedagang gilo-gilo sangat membantu roda perekonomian warga. Warga yang semula menganggur jadi memiliki penghasilan dengan cara memproduksi penganan untuk dijajakan penjual gilo-gilo.
Hal itu pun membuat dirinya bersama beberapa orang warga menginisiasi pencanangan Kelurahan Gabahan sebagai kampung tematik, Kampung Bagilo atau bakul dan gilo-gilo.
“Dari Pemkot Semarang kan setiap kelurahan atau kampun didorong menjadi kampung tematik. Kebetulan karena di sini banyak pedagang dan penjual gilo-gilo, kami ambil tema sebagai Kampung Bagilo. Tema ini sudah kami usulkan dan rencana ditetapkan akhir 2018 ini,” terang Sugianto.