Bisnis.com, SEMARANG - Relaksasi ekspor alat pelindung diri (APD) membuat pelaku industri tekstil di Jawa Tengah sedikit lega. Kebijakan ini dinilai dapat kembali memacu kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terhempas karena pandemi Covid-19.
Data ekspor garmen yang disekspor melalui Pelabuhan Tanjung Emas menunjukkan ekspor garmen telah mencapai Rp8,1 triliun. Sebagian besar atau lebih dari 50 persen ekspor garmen Jateng mengalir ke Amerika Serikat (AS) atau senilai Rp4,2 triliun.
Kepala KPP Bea Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Emas Anton Martin mengatakan ekspor garmen khususnya APD cukup menjanjikan. Hal ini terjadi karena tingginya kebutuhan APD di luar negeri.
"Makanya ada relaksasi untuk ekspor yang sebelumnya dilarang sama sekali," kata Anton kepada Bisnis, Rabu (6/5/2020).
Anton memaparkan pasar utama ekspor APD Jateng tesebar di lima negara atau kawasan. Pertama, Amerika Serikat, sebagaimana disebutkan di atas porsinya di atas 50 persen.
Kedua, Jepang total ekspor garmen sebanyak Rp1,4 triliun. Ketiga, Jerman senilai Rp568,3 miliar. Keempat, China senilai Rp185,1 miliar. Kelima, Britania Raya senilai Rp162,8 miliar.
Potensi ekspor APD, menurut Anton masih terbuka lebar. Pasalnya, Jateng merupakan salah satu sentra tekstil di Indonesia. Dia juga telah mencatat perusahaan-perusahaan garmen besar seperti Sritex atau Panbrothers serta puluhan perusahaan lainnya bakal menjajaki ekspor APD.
Kendati demikian, relaksasi yang diberikan oleh otoritas tetap didasarkan pada sejumlah aspek. Selain mekanisme pengawasan yang ketat, otoritas juga mensyaratkan bahwa 50 persen dari kontrak dijual di pasar lokal. Syarat ini ditandai dengan pernyataan tertulis.
"Relaksasi ekspor itu akan dilihat dari kontrak ekspornya dan komitmen perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," tukasnya.
Data KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Emas menunjukkan bahwa kinerja ekspor secara keseluruhan ke lima negara ekspor utama sampai April 2020 sekitar 17,9 triliun.
Selain garmen, ekspor utama Jateng lainnya adalah furnitur senilai Rp4,8 triliun, kayu semi olahan senilai Rp2,5 triliun, sepatu dan alas kaki senilai Rp2,4 triliun, serta benang Rp2,2 triliun.