Bisnis.com, YOGYAKARTA - Tingginya kasus baru penularan Covid-19 di Yogyakarta membuat pemerintah setempat memperpanjang masa tanggap darurat wabah itu.
Keraton Yogyakarta pun sampai saat ini masih belum menggelar lagi berbagai perayaan tradisinya secara terbuka untuk warga dan wisatawan, termasuk sejumlah rangkaian tradisi yang mengiringi perayaan Sekaten yang berlangsung 22-29 Oktober Tahun Jimakir 1954/2020.
"Untuk rangkaian kegiatan Hajad Dalem (perayaan/selamatan oleh raja Keraton) berupa Miyos Gangsa, Kondur Gangsa, dan Garebeg Mulud ditiadakan," ujar Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura atau Sekjen Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono, Minggu (11/10/2020).
Peniadaan seluruh kegiatan itu demi menjaga kondusivitas di masa tanggap darurat Covid-19 DIY dan menaati anjuran pemerintah.
Miyos Gangsa merupakan rangkaian pengawal Sekaten yang digelar sebagai tradisi menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Prosesi itu ditandai dengan keluarnya sepasang gamelan pusaka Keraton, gamelan Sekati, yakni Kanjeng Kiai Naga Wilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu untuk dibawa ke Masjid Gedhe Kauman.
Selama tujuh hari berturut, dua gamelan pusaka itu akan ditempatkan di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman untuk dimainkan sebelum akhirnya dibawa masuk kembali untuk disimpan sebagai bagian pusaka Keraton.
Baca Juga
Prosesi pengembalian gamelan pusaka itu dari Masjid Kauman ke Keraton sendiri disebut tradisi Kondur Gangsa. Sebelum prosesi Kondur Gangsa dimulai ini biasanya Raja Keraton Yogya Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X akan hadir untuk prosesi tradisi Nyebar Udhik-Udhik di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman.
Udhik-Udhik itu biasanya berisi beras, bunga dan uang logam sebagai simbolisasi upaya seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyatnya.
Ribuan wisatawan biasanya memadati prosesi arak-arakan gamelan pusaka itu di area Alun-Alun Utara, baik saat gamelan dikeluarkan maupun saat dibawa masuk kembali ke Keraton yang dikawal ratusan abdi dalem dan prajurit keraton itu.
Lalu puncak rangkaian Sekaten itu tak lain Garebeg Mulud yang digelar sebagai peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada 12 Rabiulawal.
Dalam tradisi Garebeg itu, para prajurit keraton akan mengawal keluarnya gunungan dari dalam keraton yang kemudian dikirab menuju ke Masjid Gedhe Kauman.
Setelah Gunungan selesai didoakan oleh Kyai Penghulu Keraton maka warga dan wisatawan berama-ramai berebut ubo rampe (makanan sesaji) yang dipercaya mendatangkan berkah.
Gusti Condrokirono menuturkan meski tradisi kali ini ditiadakan secara terbuka, keraton tetap melakukan penyesuaian prosesi rangkaian tradisi itu dengan cara membagikan gunungan secara simbolis dan terbatas bagi abdi dalem.
"Pembagian gunungan secara terbatas itu tidak mengurangi esensi dan filosofi Garebeg itu sebagai bentuk konsistensi pelestarian budaya," ujarnya.