Bisnis.com, SEMARANG – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 yang disahkan Gubernur Jawa Tengah diduga belum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Wakil Ketua Bidang Hukum, Pembelaan, dan Perundang-undangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Daryanto mengungkapkan bahwa apabila UMP 2021 terbukti cacat hukum maka Upah Minimum Kawasan (UMK) yang merupakan turunannya juga ikut bermasalah.
“UMP itu kan pondasinya yang kemudian lahir UMK, lha kalau UMP salah, ya bangunan di atas pondasi itu harus rontok, gambarannya begitu,” jelasnya ketika dihubungi Bisnis, Rabu (3/2/2021).
Daryanto menduga bahwa ada dua peraturan yang dilanggar Gubernur Jawa Tengah dalam menentukan jumlah UMP 2021. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permennaker) No. 18/2020 dan No.15/2018.
“Pak Gubernur itu selalu membicarakan bahwa UMP ini penetapannya sudah sesuai Peraturan Pemerintah No.78/2015, kalau kita baca lebih detail lagi, justru ada pasal-pasal yang tidak dilaksanakan oleh Pak Gubernur, sehingga tidak sesuai peraturan perundang-undangan tersebut,” jelasnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan, pengaturan upah minimum ditentukan oleh Gubernur melalui Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Formulasi perhitungan upah minimum juga telah diatur melalui Pasal 44 PP No.78/2015. Salah satu variabelnya adalah tingkat inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga
Menurut Daryanto, selama lima tahun terakhir Pemerintah Provinsi Jawa Tengah belum melakukan kajian KHL. Padahal, variabel ini berperan penting dalam penentuan UMP. “Kalau KHL dihitung bisa jadi UMP 2021 lebih rendah,” ungkapnya.
Meskipun demikian, penurunan UMP tidaklah memungkinkan untuk dilakukan, oleh karena itu Menteri Ketenagakerjaan sempat mengeluarkan surat edaran kepada Pemerintah Daerah untuk tidak menaikkan UMP di tahun 2021.
“Surat edaran itu rohnya Permenaker No.18/2020, bahwa kalau benar dihitung [KHL-nya, maka UMP akan] jatuh nilainya,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, angka yang digunakan dalam menghitung UMP di Jawa Tengah tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasalnya, tingkat inflasi yang digunakan merujuk pada data Dinas Ketenagakerjaan Provinsi, bukan pusat.
“Ketika Pak Gubernur [menentukan kenaikan UMP] 3,27 persen, [itu] adalah hasil [perhitungan] dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah secara year-on-year. Itu hasil pencomotan langsung. Padahal teknisnya tidak begitu, untuk menentukan angka inflasi itu kewenangannya pusat dulu, hasil itu disampaikan kepada menteri kemudian menteri menyampaikan kepada gubernur. Baru gubernur bisa menggunakan angka itu,” jelas Daryanto.
Proses gugatan ini masih terus berlangsung. Kepada Bisnis, Daryanto mengungkapkan bahwa Apindo Jawa Tengah akan terus mengawal proses hukum ini untuk membuktikan dugaan-dugaan tersebut.