Bisnis.com, SEMARANG – Nilai ekspor Jawa Tengah pada Mei 2021 dilaporkan mengalami kenaikan yang signifikan secara year-on-year.
“Nilai ekspor per Mei 2021 yang mencapai US$649,15 juta itu mengalami kenaikan 42,22 persen (yoy) dibandingkan Mei 2020,” jelas Sentot Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah Bangun Widoyono, Kamis (1/7/2021).
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara daring, Sentot menyebutkan bahwa industri pengolahan masih menjadi sektor utama pendukung kegiatan ekspor di Jawa Tengah.
“Kalau kita lihat secara strukturnya, sebenarnya industri pengolahan masih cukup besar peranannya. Yaitu untuk komoditas yang diekspor pada Januari – Mei 2021 itu mencakup 94,25 persen [dari nilai ekspor],” ungkapnya.
Sayangnya, kinerja ekspor Jawa Tengah secara month-to-month justru menunjukkan penurunan. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah, nilai ekspor Mei 2021 mengalami penurunan 23,67 persen dibandingkan bulan April 2021.
“Penurunan [nilai ekspor] ini terjadi secara signifikan pada kelompok barang-barang non-migas yang menurun sebesar 25,23 persen (m-t-m), sementara untuk komoditas migas masih mencatat kenaikan sebesar 27,31 persen (m-t-m),” jelas Sentot.
Meskipun demikian, BPS Provinsi Jawa Tengah mencatat bahwa penurunan nilai ekspor berbanding terbalik dengan volume ekspor komoditas nonmigas yang dilaporkan mengalami kenaikan sebesar 21,77 persen (yoy). Pada Mei 2020, tercatat volume ekspor Jawa Tengah sebesar 197,42 ribu ton, sementara pada Mei 2021 nilainya mencapai 240,40 ribu ton. Volume ekspor migas justru mengalami penurunan 67,97 persen secara year-on-year. Dari 208,03 ribu ton pada Mei 2020 menyusut hingga 66,62 ribu ton pada Mei 2021.
Sentot menyebutkan bahwa penurunan kinerja ekspor secara month-to-month merupakan gejala mulai turunnya permintaan pasar. “Kita lihat bahwa permintaan barang-barang ekspor kita ke Amerika Serikat menurun sampai US$ 71,48 juta,” tambahnya.
Selain Amerika Serikat, penurunan nilai ekspor terjadi secara merata di 13 negara tujuan utama. Secara kumulatif, penurunannya mencapai 24,67 persen (m-t-m), tepatnya dari US$ 613,47 juta pada April 2021, menjadi US$ 462,11 juta di bulan Mei 2021.
Permintaan justru datang dari negara-negara non-tradisional seperti Tanzania, Gambia, Srilanka, Nigeria, dan Perancis. “Saya kira ini merupakan peluang yang perlu dikembangkan, bahwa negara-negara Afrika juga mempunyai minat untuk [membeli] barang-barang dari Jawa Tengah,” jelas Sentot.
Wacana diversifikasi ekspor pun jadi kian mendesak untuk direalisasikan. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa saat ini telah muncul beberapa komoditas baru yang memiliki prospek cerah di masa mendatang.
“Misalnya produk kulit, mesin, peralatan listrik, serta elektronika ringan mulai banyak permintaannya. Ada diversifikasi produk ekspor di Jawa Tengah, dari yang dulunya sekedar tekstil dan kayu,” jelas Arif beberapa waktu lalu.
Pengembangan industri padat teknologi di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang juga menjadi harapan jangka panjang bagi Arif. Karena selain mampu mengintegrasikan sektor industri elektronika dan tekstil, kawasan tersebut juga bakal membuka peluang ekspor bagi produk baterai.
Meningkatnya permintaan dari negara-negara non-tradisional juga dikonfirmasi kalangan pengusaha. Frans Kongi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pesanan dari negara-negara Timur Tengah mulai banyak masuk ke Jawa Tengah. Meskipun demikian, nilai ekspornya masih belum signifikan karena produk asal Jawa Tengah masih harus bersaing dengan produk dari negara lain.
“Saingan kita seperti Vietnam, Bangladesh,” tambahnya.