Bisnis.com, SRAGEN — Di tengah tingginya harga minyak goreng di pasaran, warga Dukuh Bunder RT 015, Desa Kedungwaduk, Kecamatan Karangmalang, Sragen, Sukarno, 49, mengolah biji kapuk randu yang dikenal dengan nama klenteng menjadi minyak goreng alternatif. Produksi minyak klenteng itu ternyata sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir.
Sukarno semula usaha jualan kapuk randu untuk pembuatan bantal, guling, dan kasur. Kapuk-kapuk itu didatangkan dari Ponorogo, Jawa Timur (Jatim). Setiap pekan, Sukarno kulakan kapuk randu itu sampai empat ton. Bila stok kapuk randu di Ponorogo habis, Sukarno mengambil kapuk randu itu ke Pati.
Ia sudah menjalani usaha ini selama 10 tahun terakhir. Di tengah perjalanan usaha itu ada permintaan klenteng dari Semarang. Biji klenteng itu kemudian dikumpulkan yang jumlahnya hingga lima kuintal.
“Setelah saya kirim klenteng ke Semarang, ternyata biji itu bisa diolah menjadi minyak. Kemudian saya coba-coba untuk usaha penyulingan minyak klenteng itu,” ujar Sukarno saat berbincang dengan JIBI, Sabtu (12/3/2022).
Sukarno kemudian mencari mesin pengolah klenteng menjadi minyak. Ia mencari-cari di Facebook dan akhirnya pesan ke Muara Baru Jakarta. Sebenarnya barang tersebut dipesan dari Tiongkok.
Saat itu, Sukarno masih ingat harganya senilai Rp42 juta per unit. Ia memesan dua unit. Mesin penyuling minyak klenteng itu masih dioperasionalkan sampai sekarang.
“Sekarang harga mesin itu bisa sampai Rp80 juta per unit. Untuk motor penggeraknya saya menggunakan mesin truk Fuso. Satu mesin dioperasional satu orang. Dalam pengolahan minyak itu saya memiliki tiga karyawan, yakni dua operator mesin dan satu penyaring klenteng. Lima orang karyawan lainnya pengolah kapuk,” jelas Sukarno.
Baca Juga
Dari dua unit mesin penyuling minyak klenteng itu, Sukarno bisa memproduksi 200 kg minyak per hari yang didapat dari sekitar 2.000 kg biji klenteng. Minyak itu dijual Rp17.000/kg.
“Jadi minyak yang dihasilkan itu sekitar 20 persen dari total bahan biji klenteng. Selain menghasilkan minyak, mesin itu juga menghasilkan ampas klenteng yang bermanfaat untuk pakan ternak. Ampas klenteng itu pun sudah dipesan tiga pabrik dan pengiriman mencapai 8,5-9 ton per tiga pekan sekali dengan harga Rp3.500/kg,” ujarnya.
Sukarno sempat mengolah minyak klenteng itu menjadi minyak konsumsi masyarakat, yakni minyak goreng. Minyak klenteng itu harus melalui tiga kali proses penyaringan untuk bisa dimanfaatkan menjadi minyak goreng.
“Dulu memang inginnya dikembangkan untuk produk minyak goreng kemasan tetapi izinnya ternyata susah sehingga niatan itu saya urungkan dan memilih bermain di minyak curah,” jelasnya.
Dia menerangkan sekarang permintaan minyak klenteng itu bisa sampai enam ton per 35 hari dikirim ke Jakarta dan satu ton untuk permintaan pasar Magelang dan Semarang.
“Minyak klenteng ini rasanya lebih gurih. Untuk pengawetan bakmi juga tidak berbau tengik seperti minyak sawit. Saya pernah mencoba minyak itu untuk konsumsi sendiri dan rasanya lebih gurih dan tidak ada campuran sama sekali,” terangnya.