Bisnis.com, SOLO - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surakarta di Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa pencemar Bengawan Solo kebanyakan limbah domestik.
"Kalau menurut evaluasi yang dilakukan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), lebih banyak tercemar oleh limbah domestik, 50 persen masih limbah domestik," kata Kepala Bidang Penataan, Pengendalian, dan Pengelolaan Lingkungan DLH Kota Surakarta Budiyono di Solo, Selasa (13/6/2023).
Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa masih banyak rumah tangga yang membuang limbah domestik ke aliran Bengawan Solo.
Meskipun demikian, Budiyono mengatakan, tidak sedikit pula pencemar Bengawan Solo yang berasal dari kegiatan industri di daerah hulu sungai.
Dia mengatakan bahwa pemantauan tingkat pencemaran Bengawan Solo dilakukan dengan secara berkala mengambil sampel air sungai dan memeriksanya.
"Kan tidak ada batasan antarwilayah. Ya kalau koordinasi terkait dengan pengawasan sama saja, tiap tahun ada pengambilan sampel di air Sungai Bengawan Solo, saat musim penghujan dan kemarau, di enam anak sungai. (Untuk pemantauan) Limbah industri juga daerah lain sama melakukan itu," katanya.
Baca Juga
Guna menekan pencemaran limbah industri di aliran sungai, menurut dia, Pemerintah Kota Surakarta sudah memfasilitasi pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di beberapa pusat kegiatan industri serta usaha kecil dan menengah (UKM).
"Ada di Laweyan dan Sondakan. Kebanyakan kan UKM, secara finansial mereka kesulitan kalau harus mengolah limbah sendiri," katanya.
Sementara itu, mengenai fenomena munculnya ikan-ikan ke permukaan air yang sebelumnya terjadi di Bengawan Solo, Budiyono mengatakan bahwa penyebabnya belum diketahui secara pasti.
"Biasanya kaitannya dengan kekurangan oksigen, amoniak. Namun perubahan cuaca juga pengaruh," katanya.
Sebelumnya, fenomena pladu atau munculnya ikan-ikan ke permukaan air dilaporkan terjadi di bagian Bengawan Solo yang ada di wilayah Kampung Sewu, Kelurahan Sewu, Kecamatan Jebres, Kota Solo.
Koordinator Forum Jogo Kali Bengawan (Jokalibe) Budi Utomo mengemukakan kemungkinan fenomena itu terjadi karena pencemaran air sungai.
"Kalau saya yakinnya karena pencemaran ya. Kalau yang pladu biasa itu pas kayak kemarau, panas panjang, air sungai suhunya agak panas, terus kena air hujan berubah suhunya menjadi dingin," katanya.