Bisnis.com, WONOGIRI - Sebatang sungai membentang dari Surakarta hingga ke ujung utara Pulau Jawa, tepatnya ke Surabaya. Nama sungai dengan panjang sekitar 600 kilometer itu begitu akrab di telinga, berkat Maestro keroncong Tanah Air, Gesang Martohartono, yang menciptakan lagu sesuai nama sungai itu, yakni Bengawan Solo.
Meskipun hari ini sungai terpanjang di Pulau Jawa itu bermuara di Laut Jawa, namun tak banyak yang mengetahui bahwa puluhan juta tahun yang lalu, Sungai Bengawan Solo justru bermuara ke laut selatan. Tepatnya menuju Samudera Hindia.
Sungai Bengawan Solo Purba membentang dari wilayah karst Gunung Sewu dan bermuara di Pantai Sadeng, Gunungkidul, DI Yogyakarta. "Disebut Gunung Sewu karena masyarakat Jawa melihat banyaknya gunung dan bukit yang menghampar di kawasan ini. Mungkin mereka tidak hitung benar-benar, maka disebut saja dengan Gunung Sewu karena banyaknya," jelas Sari Bahagiarti Kusumayuda, Pakar Geologi dengan spesialisasi karst dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta (UPNVY), pada Senin (30/1/2023).
Gunung Sewu membentang sepanjang pantai selatan Pulau Jawa dari Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, hingga Kabupaten Pacitan di Jawa Timur. Kawasan itu terbentuk dari naiknya lapisan dasar laut akibat pergerakan lempeng bumi di selatan Pulau Jawa. Fenomena geologi itu akhirnya membentuk susunan karst yang khas, sehingga kawasan tersebut mengantongi status Global Geopark Network dari Unesco pada 2015 silam.
Sari menjelaskan, meskipun secara harfiah Gunung Sewu dalam bahasa Jawa berarti 'Gunung Seribu', namun fakta empiris membuktikan kawasan pegunungan itu punya lebih dari seribu gunung dan bukit. "Dari foto udara dan citra satelit maka jumlah gunung dan bukit besar kecil di Kawasan Geopark Gunung Sewu ini lebih kurang 45.000, itu seluruh Gunung Sewu," jelasnya.
Jatmiko Setiawan, Pakar Geologi UPNVY, menambahkan bahwa keberadaan Sungai Bengawan Solo Purba dapat dibuktikan dari susunan lembah kering yang membentang dari arah utara ke selatan Gunung Sewu. "Itu betul-betul lembah yang kering. Tetapi di bawahnya banyak air sebenarnya, lubang-lubang itu terisi air semua," jelas pria itu.
Berdasarkan bukti geologis yang ditemukan, Jatmiko menjelaskan bahwa sekitar 10 juta tahun yang lalu Sungai Bengawan Solo Purba masih mengalirkan air hingga ke Samudera Hindia. "Mulai 10 juta tahun yang lalu, terangkatlah Pulau Jawa. Saat terangkat maksimal, air sudah tidak bisa mengalir ke selatan lagi. Karena sudah jadi pegunungan. Maka alirannya berpindah, ke utara dan menjadi Bengawan Solo yang sekarang," jelasnya dalam sebuah diskusi yang digelar di Kabupaten Wonogiri beberapa waktu lalu.
Terangkatnya sisi selatan Pulau Jawa jika ditelisik lebih lanjut, tak bisa dilepaskan dari pergerakan lempeng Indo-Australia. Jatmiko menyebut, lempeng raksasa itu punya peran besar bagi pembentukan bentang alam di wilayah Asia. Mulai India, Burma, Sumatera, hingga Irian Jaya. Lempeng itu pula yang membentuk bentang Pegunungan Eurasia, lengkap dengan Pegunungan Himalaya yang begitu ikonik.
Fenomena geologi itu pada akhirnya ikut memunculkan gunung api purba, yang dulunya berada di dasar laut, ke permukaan. Jatmiko mengungkapkan, gunung api purba itu hingga 33 juta tahun yang lalu masih tergenang air asin. Buktinya dapat disaksikan di Kecamatan Berbah, Sleman, DI Yogyakarta dengan adanya lapisan batu yang disebut Lava Bantal. Susunan Lava Bantal, kata Jatmiko, hanya dimungkinkan ketika gunung api purba mengalami erupsi di dasar laut.
"Kemudian terus berkembang jadi gunung api vulkanik yang stratovulkano. Seperti Merapi sekarang, jadi lelehan, ledakan yang mebentuk gunung api seperti tumpeng," jelasnya.
PERADABAN SUNGAI
Sungai Bengawan Solo Purba itu memang sudah mengering. Namun, jutaan tahun setelah mengeringnya sungai itu, aliran air masih dapat ditemui. "Sungai bawah tanah pasti mengalir ke selatan. Tetapi sungai permukaan, dia terbalik, karena selatan sudah tinggi maka mengalir ke utara. Itu ceritanya secara tektonik, sejarah geologinya," jelas Jatmiko.
Mengeringnya Sungai Bengawan Solo Purba itu disusul dengan tumbuhnya peradaban manusia di sekitar Gunung Sewu. Hingga hari ini. Dusun Mendak, Desa Petirsari, Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri menjadi salah satu perkampungan yang hidup di lembah kering, dasar dari Sungai Bengawan Solo Purba tersebut.
Ada 28 Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di Dusun Mendak tersebut. Priono, salah seorang warga, menuturkan bahwa dulunya masyarakat di dusun itu kesulitan untuk mengakses air bersih. Lantaran mustahilnya mengebor batuan keras yang berada di bawah Dusun Mendak. "Sebelumnya [memakai sistem] tadah hujan. Isi tangki sampai setengah tahun," jelas Priono.
Dengan kondisi itu, tak heran jika warga Dusun Mendak terpaksa membeli air bersih dari mobil-mobil tangki di wilayah Pracimantoro. Untuk satu mobil tangki, Priono mengungkapkan warga mesti merogoh kocek hingga Rp130.000 rupiah. "Satu bulan [habis] dua tangki per orang," tambahnya.
Berkat kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat, Dusun Mendak kini bisa memanen air bersih dari sungai bawah tanah. Pipa air tersambung dari rumah-rumah warga menuju luweng, sebutan untuk gua dengan mulut vertikal. Skema Penyediaan Sarana Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) diterapkan dan dikelola oleh desa. "Harganya Rp9.000 per kubik, lebih irit, hampir separuhnya dari beli air dari mobil tangki," jelas Priono.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah ikut berkontribusi pada pengembangan Pamsimas tersebut. Bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) diberikan untuk mendukung aktivitas pompa air dari luweng menuju rumah-rumah penduduk.
Kepala Cabang Dinas ESDM Sewu-Lawu, Rival Gautama, menyampaikan bahwa hingga 2022 lalu ada 350 KK dari 4 dusun yang sudah menjadi penerima manfaat bantuan tersebut. "Jadi ini satu hal yang luar biasa, dengan mengeluarkan sedikit, ternyata bisa memberikan pelayanan lebih besar, lebih luas kepada masyarakat," ucapnya kepada wartawan, Selasa (31/1/2023) lalu.
Rival menyebut, selama ini air yang dipompa dari dasar luweng tak mendapatkan perlakuan maupun pengolahan khusus. Air-air itu sejatinya telah disaring secara alami oleh lapisan batuan yang terbentuk di kawasan karst Gunung Sewu. "Sebenarnya potensi luar biasa. Tetapi butuh teknologi dan butuh biaya kalau mengebor sendiri. Kalau seperti ini kan sudah ada dari alam. Maka dimanfaatkan," jelasnya.
MANFAAT GEOPARK
Keberadaan luweng yang terbentuk di kawasan karst tersebut tak cuma memberikan manfaat pemenuhan air bersih bagi masyarakat. Lebih lanjut, Sari Bahagiarti Kusumayuda, menyebut Gunung Sewu yang sudah ditetapkan menjadi Unesco Global Geopark itu masih punya beragam potensi yang perlu diasah. Termasuk di antaranya potensi ekonomi dari geowisata. "Salah satu tujuannya adalah ujung-ujungnya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Tanpa merusak lingkungan, supaya pembangunan itu bisa sustainable," jelasnya.
Untuk memanfaatkan peluang itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mendirikan Museum Karst Indonesia (MKI) di Desa Gebangharjo, Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Etik Restu Pramesti, salah seorang pemandu di museum tersebut, menjelaskan bahwa ada tiga lantai dengan peruntukan khusus yang siap menyambut wisatawan. Lantai pertama fokus pada penjelasan mengenai karst dan kehidupan masyarakat. Lantai kedua menjadi ruang pamer batu-batuan kawasan karst. Sementara di lantai ketiga, pengunjung bisa menikmati tayangan dokumenter di ruang auditorium.
Etik menambahkan bahwa selain menikmati museum, pengunjung juga bisa menikmati langsung keindahan dari tujuh geosite yang tersebar di sekitar MKI. Beberapa geosite tersebut antara lain Gua Tembus, Gua Potro-Bunder, Gua Gilap, Gua Mrica, Gua Sapen, Gua Sonya Wuri, dan Gua Sodong. "Salah satu di antara gua mereka ada yang untuk pertapaan zaman dulu, sekarang sudah tidak," ucapnya.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, menyampaikan bahwa pemerintah daerah bakal terus berperan aktif untuk meningkatkan kemanfaatan geopark bagi masyarakat. Tak cuma di Gunung Sewu, tapi juga di lokasi-lokasi lain dengan keunikan geologis yang khas.
"Sekarang usulan Pak Jatmiko itu, satu di sini [Wonogiri] sudah berhasil, dulu ya. Wonosobo ini sudah ditetapkan geoheritage menuju geopark, itu Dieng dan Banjarnegara. Kemudian Blora sudah masuk juga, tinggal mengusulkan bagaimana keunikan Blora sebagai oil and gas industry di zaman itu dan sisa kehebatannya masih luar biasa," ucap Sujarwanto.
Selain di Gunung Sewu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga tengah menyiapkan geopark anyar di lereng sebelah barat Gunung Slamet. Tepatnya di Kabupaten Brebes. Langkah tersebut, menurut Sujarwanto, dilakukan sebagai bentuk syukur sekaligus merawat karunia Tuhan. Lebih lanjut, ada misi yang lebih penting yang coba diraih dari penetapan status geopark tersebut.
"Penetapan Geopark itu bukan untuk memuja-muja kehebatan saja. Tetapi tujuannya untuk kesejahteraan dari masyarakat yang hidup dalam geoheritage, geopark itu. Jadi kalau tujuannya tidak sampai, ya mending tidak usah," tegasnya.