Bisnis.com, SEMARANG - Ratusan petani bawang putih di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah meradang karena diduga tertipu importir bawang putih nakal. Mereka mengklaim merugi hingga ratusan juta rupiah akibat perjanjian kontrak yang tak dijalankan pengusaha importir.
Kerugian ratusan petani setelah lahan pertanian bawang milik mereka tak bisa ditanami alias menganggur selama kurun waktu hampir satu tahun. Hal itu terjadi setelah pihak importir yang menjanjikan pemberian bibit bawang putih untuk mereka urung dibagikan.
Pitoyo selaku Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Dusun Selongisor Desa Batur mengungkapkan, terdapat sekitar 435 hektare lahan di kecamatan Getasan yang menjadi korban importir nakal tersebut. Khusus Desa Batur ada 12 Gapoktan degan 110 hektare lahanya kini menganggur.
"Kalau dihitung-hitung kerugian kami mencapai ratusan juta. Karena selama hampir satu tahun lahan untuk pertanian bawang putih yang dikontrak importir tak juga ditanami, " jelas Pitoyo dalam keterangan tertulis Selasa (4/12/2018).
Ratusan petani diduga menjadi korban penyelewengan realisasi wajib tanam 5% dari importir nakal yang menyalahgunakan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 tahun 2017 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).
Dalam Permentan itu diatur pengusaha importir diwajibkan menanam 5% bibit bawang putih di dalam negeri dari jumlah rencana impor yang akan diajukannya. Di dalam pelaksanaannya pelaku usaha importir disyaratkan bekerjasama dengan kelompok tani yang diketahui kepala dinas pertanian di kabupaten kota.
Baca Juga
Untuk memuluskan kewajiban 5% tanam itu, importir nakal kerap memanfaatkan MoU dengan para kelompok tani di daerah hanya untuk mendapatkan bukti RIPH yang seakan-akan sudah melaksanakan wajib tanam 5% di lahan dalam negeri.
Pitoyo menyebut perusahaan importir itu bernama PT Cipta Makmur Sentosa. Perusahaan importir itu melaksanakan kesepakatan atau MoU dengan Gapoktan di wilayah kecamatan Getasan pada akhir 2017 silam.
Dalam surat perjanjian yang diteken ratusan kelompok tani dan dinas pertanian setempat, perusahaan itu menjanjikan 5-6 kwintal benih bawang putih per hektare lahan. Sedangkan kontrak lahannya dimulai sejak November 2017 hingga Februari 2019 dengan dua kali masa tanam.
"Kami menyiapkan lahan dan pihak perusahaan menjanjikan batuan benih, alat pertanian dan pupuk. Hasilnya 70% petani dan 30% mereka, " kata pria 51 tahun itu.
Namun pasca MoU itu, pihak importir hingga kini tak juga mengirim bibit bawang putih seperti yang dijanjikan. Pun pemberian alat pertanian yang dimaksud.
Ironisnya, ratusan petani telah mengeluarkan tak sedikit uang untuk menyiapkan lahan mereka agar siap ditanami. Sedangkan tak ada satu rupiah pun kompensasi yang diberikan perusahaan untuk mereka.
"Saya sendiri mewakili teman-teman petani sudah sering menghubungi pimpinan perusahaan. Tapi mereka bilang katanya ada kendala benih lah, regulasi ekspor-impor lah dan lain-lain," tutur dia.
Tidak adanya kepastian tanam di ratusan hektare lahan yang telah disiapkan membuat para petani kelimpungan. Pitoyo berharap masalah yang mendera ratusan petani segera ada solusi.
Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian diminta untuk turun tagan menyelesaikan masalah petani. Apalagi selama lahan mereka menganggur, mereka kehilangan momentum untuk menanam komoditas tembakau yang menjadi andalan.
"Daerah sini merupakan sentra tembakau dan kemarin harganya bagus. Tapi kita bingung mau menanam, karena sudah berupaya menepati janji dengan perusahaan itu. Pengen saya dan teman-teman saat ini ya bisa segera menanam bawang seperti yang dijanjikan, " ujar Pitoyo.
Hariyatno (44 tahun), salah satu petani desa Kopeng, kecamatan Getasan menyatakan turut bingung setelah menjadi korban perjanjian importir nakal itu. Ia dan 38 petani di kelompoknya terpaksa menganggur tak bisa menggarap lahan mereka.
"Kami sudah keluar satu juta lebih untuk menyiapkan lahan. Tapi mau tanam yang lain enggak berani. Belum teman-teman lain yang lahannya lebih luas. Di kelompok tani kami totalnya 16 hektare lahan jadi korban, " ujar Hariyatno.