Bisnis.com, SALATIGA — Pemerintah Kota Salatiga menargetkan angka kemiskinan dapat ditekan mencapai level 3 persen pada 2022, berkurang dari 4,8 persen pada 2018.
Wali Kota Salatiga Yulianto menuturkan bahwa pada 2018 angka kemiskinan berangsung menurun menjadi 4,8 persen. Sebelumnya persentase itu masih melampaui 10 persen pada 2011.
“Hampir setiap tahun angka kemiskinan di Salatiga berkurang 0,5 persen. Targetnya pada 2022 [angka kemiskinan] terus menyusut menjadi 3 persen,” ujarnya kepada Bisnis di rumah dinasnya, Kamis (10/10/2019).
Angka kemiskinan Salatiga cenderung lebih rendah dari Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan yang mencapai 10,8 persen atau 3,74 juta orang per Maret 2019. Persentase itu melampaui rata-rata nasional sebesar 9,41 persen.
Yulianto mengungkapkan caranya menekan angka kemiskinan ialah menyasar daerah-daerah yang kondisinya memprihatinkan. Ada 7 kelurahan yang cenderung miskin, sehingga fokus diberikan bantuan pendidikan, kesehatan, dan usaha.
Bantuan pendidikan disalurkan melalui beasiswa, sehingga anak dapat bersekolah gratis. Pengobatan gratis dilakukan melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang kemudian bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.
Adapun, bantuan usaha dilakukan dengan permodalan dan pendampingan, terutama untuk UKM serta sektor pertanian. Upaya tersebut dilakukan bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
“Kalau semua dilakukan keroyokan, bersama-sama, tentunya bisa untuk semakin menyejahterakan masyarakat sekaligus menekan kemiskinan. Tiga sektor utama yang menjadi fokus Pemkot Salatiga ialah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” imbuhnya.
Bahkan anggaran pendidikan Salatiga setiap tahunnya mencapai 38 persen-39 persen. Persentase itu melampaui amanat UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, dimana anggaran suatu daerah untuk pendidikan minimal sebesar 20 persen.
Ekspansi Industri
Untuk mengentaskan kemiskinan, Pemkot Salatiga masih memiliki pekerjaan rumah seperti angka pengangguran yang hampir mencapai 8.000 orang. Namun, masalah ini dapat diselesaikan seiring dengan ekspansi industri alas kaki, tekstil, dan mebel.
Salah satu investasi yang masuk berasal dari PT Selalu Cinta Indonesia (SCI), yang menyerap 8.000 tenaga kerja langsung. Bahkan, perusahaan tengah menyiapkan pengembangan pabrik tahap kedua, sehingga membutuhkan tenaga kerja hingga 20.000-an orang.
“Dengan adanya ekspansi sejumlah industri, angka pengangguran kita akan semakin berkurang,” tuturnya.
Sebagai area bisnis, Salatiga juga diuntungkan dengan rampungnya pengembangan Tol Trans Jawa pada akhir 2018. Fasilitas ini membuat jarak tempuh ke Semarang, Solo, dan Surabaya kian cepat.
Salah satu sektor yang merasakan manfaat signifikan dari pengembangan infrastruktur ialah perhotelan, karena okupansi harian dapat mencapai 60 persen-70 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan okupansi rata-rata hotel di Jateng yang masih di bawah 50 persen.
Peningkatan okupansi berbanding lurus dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak hotel dan restoran sebesar 10 persen. Pendapatan pajak itu kini mencapai Rp12 miliar, meningkat 4 kali lipat dari Rp3 miliar sebelumnya adanya tol.
Selain itu, Salatiga yang mendapat anugerah Kota Toleran ke-2 di Indonesia dan mendapat piala Adipura dalam 3 tahun berturut-turut, semakin menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mendiaminya.
Apalagi harga propertinya cenderung lebih murah dibandingkan Semarang dan Solo, dengan biaya hidup lebih murah. Yulianto mencontohkan rumah tipe 36 di Semarang harganya berkisar Rp300 juta, sedangkan di Salatiga hanya Rp180 juta—Rp200 juta.
“Jadi para pekerja di Semarang dan Solo mulai melirik Salatiga untuk tinggal di sini. Selain harga dan biaya lebih murah, fasilitas pendidikan juga memadai. Hawanya cenderung lebih sejuk, dan kehidupan bermasyarakat cenderung aman dan tentram,” jelasnya.