Bisnis.com, SEMARANG - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan industri jasa keuangan agar meningkatkan kewaspadaan terhadap praktik window dressing atau penyajian laporan keuangan yang menyesatkan, seiring meningkatnya tekanan ekonomi makro.
Fenomena itu diproyeksikan bakal kian marak di tengah tantangan ekonomi 2025.
“Kita melihat proyeksi kondisi makro ekonomi itu ada sedikit potensi challenge. Biasanya kalau lagi ada challenge ini kemudian window dressing-nya ini bisa agak-agak meningkat. Ini kita perlu waspadai bersama,” ungkap Sophia Wattimena, Ketua Dewan Audit OJK, dalam acara Forum Governance, Risk, dan Compliance (GRC) yang digelar di Kota Semarang pada Senin (7/7/2025) sore.
Sophia mengungkapkan bahwa fraud dalam pelaporan keuangan masih menjadi salah satu sumber kerugian terbesar, dengan nilai rata-rata mencapai US$6 juta per kasus.
Bentuk pelanggaran umum di antaranya mencakup mark-up nilai agunan, rekayasa kualitas kredit, dan jaminan kredit yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Proses pengadaan barang dan jasa, termasuk yang dilakukan oleh perbankan milik pemerintah, juga masih rawan risiko fraud. “Pengadaan barang dan jasa ini merupakan sektor yang cukup rentan terhadap korupsi.
Baca Juga
Di lingkungan Kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah, termasuk di industri jasa keuangan juga,” ujar Sophia.
Risiko ini menjadi krusial, mengingat ada Rp448 triliun APBN 2025 yang telah dianggarkan pemerintah untuk membiayai 11 program prioritas.
Sebagian besar program itu dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Untuk itu, potensi penyimpangan perlu dicegah sejak dini melalui penguatan sistem pengawasan dan penerapan tata kelola yang baik.
Sophia menyampaikan bahwa OJK terus mendorong penguatan tata kelola, terutama di fungsi audit internal, dewan komisaris, dan komite audit.
Upaya ini dipandang penting untuk mencegah terjadinya penyajian laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi riil perusahaan.
Sebagai bagian dari reformasi pengawasan, OJK telah menerbitkan POJK No.17/2023 yang memperluas cakupan penerapan governance mencakup sistem remunerasi, integritas pelaporan, strategi anti-fraud, teknologi informasi, hingga penanganan benturan kepentingan di kelompok usaha bank.