Bisnis.com, JAKARTA – Frans M. Tambunan begitu bersemangat menceritakan keberhasilan PT Food Station Tjipinang Jaya mengelola beras untuk konsumsi masyarakat DKI Jakarta di hadapan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Solo Raya yang melakukan studi banding, Kamis (25/10).
Direktur Operasional PT Food Station Tjipinang Jaya itu pun mengajak peserta studi banding untuk mengelilingi pabrik pengemasan beras dan gula pasir milik badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta itu.
Para peserta studi banding yang berasal dari Surakarta, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Klaten, dan Wonogiri itu dibuat terperangah melihat teknologi yang dimiliki Food Station dalam pengemasan beras. Puluhan ribu ton beras terlihat bertumpuk di gudang milik Food Station di Cipinang, Jakarta Timur.
Di pabrik itu juga ada mesin pengolah beras (rice mill) modern dan berkapasitas produksi puluhan ton beras. Sejumlah karyawan terlihat beraktivitas mengepaki beras ke dalam kantung plastik berukuran 5 kg, lalu memasukkan dalam karung.
PT Food Station Tjipinang Jaya merupakan salah satu BUMD milik Pemprov DKI Jakarta yang bergerak di bidang pengemasan dan distribusi pangan. Perusahaan tersebut juga mengelola pasar yang terkenal sebagai pusat jual-beli beras di Jakarta yakni Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur.
Pria berkacamata ini mengungkapkan Food Station ditugaskan untuk menjamin ketersediaan beras bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Selain itu juga memiliki wewenang mengatur pasar beras Cipinang yang merupakan pasar induk beras terbesar di Indonesia serta menjadi barometer harga beras nasional.
Untuk menjalankan tugas itu, Food Station diberi wewenang untuk melakukan pengadaan beras dari luar daerah, memiliki mesin pengolah beras, memproduksi beras kemasan medium dan premium dengan merek FS—sudah mendapat sertifikat SNI dan label halal, serta memiliki gudang untuk menyimpan stok beras.
Saat ini, Food Station memiliki stok 10.000 ton beras, sedangkan stok yang ada di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) mencapai 48.912 ton. Dengan kebutuhan warga DKI Jakarta sekitar 3.000 ton beras per hari, maka diperkirakan stok beras DKI Jakarta mencukupi hingga pertengahan 2019.
Untuk menjaga ketersediaan beras di Ibu Kota, Food Station terus menjalin kerja sama dengan kelompok tani di sejumlah daerah. Kerja sama tersebut juga dilakukan untuk menambah suplai beras agar terjadi stabilisasi harga di pasar.
“DKI Jakarta ini bukan wilayah penghasil beras, tetapi kebutuhannya sangat banyak. Maka dari itu, kami membuka peluang kerja sama dengan sentra-sentra produksi beras di berbagai daerah,” ujarnya.
Peluang kerja sama itu pun ditangkap para peserta studi banding yang sebagian berasal dari kalangan petani di Sragen.
Namun, ada syarat yang harus disepakati kedua pihak sebelum memastikan kerja sama, yaitu kesepakatan harga dan suplai yang kontinyu setiap bulan. Frans memaparkan Food Station siap membayar harga gabah kering sesuai kesepakatan.
Misalnya, biaya produksi 1 hektare sawah untuk satu musim tanam berkisar Rp25 juta dengan hasil gabah kering Rp78 ton. Maka, harga pokok produksi Rp3.571/kg. Dia lantas bertanya berapa harga yang pantas diterima petani.
“Harga yang pantas itu diajukan petani, itulah yang kami bayar. Kalau HPP Rp3.571/kg maka yang pantas itu sekitar Rp4.500/kg. Itulah harga kesepakatan,” jelasnya.
Dia mengatakan Food Station akan mengunci harga sesuai kesepakatan tanpa melihat faktor eksternal. Karena itu, petani tak bisa tiba-tiba menjual dengan harga lebih tinggi ketika pasokan berkurang. Sebaliknya, Food Station tak akan membeli lebih rendah ketika terjadi over supply saat panen raya.
Menurutnya, pola kerja sama tersebut tak sulit dilakukan asalkan kedua pihak memiliki komitmen tinggi. “Yang sering terjadi, petani kadang ingkar janji. Saat panen raya, mereka datang minta harga normal. Namun, ketika paceklik petani malah jual ke pihak lain. Ini kan selingkuh namanya,” ungkap Frans.
Mengacu pada kondisi tersebut, dia menilai saat ini sudah teruji kelompok tani atau BUMD mana yang bisa menjalin komitmen dengan perusahaan. Komitmen bukan sekadar menunjukkan profesionalisme, tetapi mendukung stabilisasi harga beras di Ibu Kota.
Sinergi BUMD dan Pemerintah
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta sekaligus Wakil Ketua TPID Provinsi DKI Jakarta Trisno Nugroho memberikan gambaran mengenai pentingnya sinergi antara Bank Indonesia, TPID Provinsi DKI Jakarta, dan tiga BUMD DKI Jakarta dalam mengendalikan harga pangan, yaitu Food Station, Perumda Pasar Jaya, dan PD Dharma Jaya.
Ketiga BUMD pangan itu memiliki tugas masing-masing, yakni Food Station ditugaskan untuk menjamin ketersediaan beras, Dharma Jaya ditugaskan untuk menjamin ketersediaan daging sapi dan daging ayam di DKI Jakarta, serta Pasar Jaya ditugaskan untuk melakukan pengelolaan 153 unit pasar di DKI Jakarta.
Kunci utamanya adalah TPID Provinsi DKI Jakarta bersama-sama dengan BUMD DKI Jakarta berusaha untuk menguasai bahan pangan pokok dari hulu ke hilir, sehingga dapat memotong rantai pasokan dan berperan aktif memengaruhi harga pasar saat terjadi gejolak harga, bukan hanya melalui operasi pasar yang dinilai hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.
“Peran Food Station yang menguasai 30% komoditas beras sehingga harga bahan pangan pokok di DKI Jakarta relatif stabil dan terkendali,” ujarnya.
Menurutnya, operasi pasar dinilai kurang efektif dan efisien dalam jangka panjang mengingat sifatnya seperti pemadam api saat kebakaran terjadi sehingga tidak berkelanjutan. Langkah itu lebih ditujukan untuk memengaruhi psikologis pasar saja.
Agar lebih efektif dalam pengendalian harga, ujar Trisno, TPID harus masuk ke channel distribusi pasar sebagai bentuk intervensi dalam pengendalian harga.
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Sukoharjo Netty Harjianti yang ikut serta dalam studi banding itu mengatakan pihaknya akan memberikan informasi mengenai kemitraan dengan Food Station kepada kelompok tani di Sukoharjo.
Selama ini, hasil gabah yang dihasilkan mencapai 390.000 ton selama satu tahun dengan surplus beras per tahun mencapai 135.000 ton. “Dengan surplus beras ini mungkin nantinya bisa menjalin kerja sama dengan pihak Food Station,” tuturnya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Solo Bandoe Widiarto mengatakan TPID dari tujuh kabupaten/kota se-Solo Raya menimba ilmu ke Ibu Kota selama empat hari, 23-26 Oktober.
DKI Jakarta dipilih lantaran karakteristiknya hampir mirip dengan Kota Solo. Yakni, sama-sama daerah yang tak mempunyai lahan pertanian sehingga pasokan komoditas kebutuhan pangan mengandalkan daerah sekitar atau daerah lain.
Rombongan 48 orang dari berbagai lintas sektoral dan organisasi perangkat daerah (OPD) yang difasilitasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo itu mengunjungi Pasar Jaya, Food Station, dan Dharma Jaya.
“Kota Solo itu dengan Jakarta, sama-sama tidak punya lahan. Yang membedakan, Jakarta punya anggaran besar. Kita belajar di sini dalam pengendalian inflasi. Kita tahu, inflasi di Jakarta cukup rendah dan terkendali,” katanya.
Menurutnya, Kota Solo ingin mempunyai lembaga seperti Food Station Tjipinang Jaya di Jakarta yang mampu menyuplai berbagai komoditas kebutuhan pokok bagi masyarakat. Pasokan komoditas kebutuhan pokok ke Food Station didatangkan dari berbagai daerah sehingga kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dan inflasi terkendali.
“Sebenarnya Kota Solo sudah punya PPK Pedaringan yang mulai memasok beberapa kebutuhan pokok ke masyarakat. Hanya saja, untuk menuju ke sana seperti Food Station Tjipinang Jaya di Jakarta masih butuh proses yang panjang,” kata Bandoe yang juga wakil ketua TPID Solo.