Bisnis.com, SEMARANG – Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, mengungkapkan bahwa serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah tersebut sudah jauh di atas rata-rata nasional.
“Kemarin Jumat (18/6/2021) kita rapat dengan Kementerian Dalam Negeri, untuk serapan Jawa Tengah itu sudah 36,74 persen. Itu sudah jauh dari rata-rata nasional,” jelasnya ketika dihubungi Bisnis, Sabtu (19/6/2021).
Capaian serapan APBD tersebut berkaitan dengan permintaan Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, yang beberapa waktu lalu meminta Pemerintah Daerah untuk segera menggunakan APBD. Permintaan tersebut disampaikan Tito mengingat kecenderungan Pemerintah Daerah yang baru merealisasikan anggaran di akhir tahun.
Terkait hal tersebut, Sumarno menyebutkan bahwa realisasi APBD di Jawa Tengah lebih terkendala masalah realokasi anggaran. “Awalnya itu kan di daerah ada kendala dari kebijakan pemerintah pusat, kita ada pengurangan alokasi Dana Anggaran Umum (DAU) juga realokasi 8 persen dari DAU untuk vaksin. Ini kan mau gak mau kita harus merombak, bahasanya merasionalisasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Akhirnya kita harus merubah dokumen APBD dan itu butuh waktu,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Sumarno memastikan bahwa proses realokasi APBD di Jawa Tengah telah berjalan dengan baik. Sehingga, dalam waktu dekat, realisasi APBD bisa langsung dilakukan tanpa harus melakukan penyesuaian terlebih dahulu.
“Saat melakukan Rapat Koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, kita [Pemerintah Daerah] ditarget akhir Juni ini serapan APBD minimal 35 persen. Kalau kita sendiri sudah melampaui. [Bahkan, Jawa Tengah] untuk akhir Juni bisa mencapai 38 – 40 persen [serapan APBD],” jelas Sumarno.
Baca Juga
Setidaknya, ada dua proyek besar yang diharapkan mampu mempercepat serapan APBD di Jawa Tengah. “Kita belanja modalnya kebanyakan di Bina Marga, juga penyelesaian Gor Jatidiri. Itu masih proses juga,” jelas Sumarno.
Namun, karena masih berada pada tahap pengerjaan, APBD yang ada masih belum bisa dibayarkan langsung kepada penanggung jawab proyek tersebut. “Uang yang mengendap di bank itu sebetulnya normal. Karena setiap pendapatan [daerah] masuk ke rekening itu. Tapi dari sisi pembayaran, kan ada regulasinya sendiri. Tidak bisa tiba-tiba kita keluarkan. Ini berbeda dengan pemerintah pusat, karena di Kementerian Keuangan itu banyak belanja transfer yang dilakukan. Tanpa ada prestasi [penyelesaian proyek] sudah bisa diberi transfer. Kalau kita, meskipun sudah melakukan pelaksanaan fisik tetap harus menunggu prestasi fisik, baru bisa dibayarkan,” jelas Sumarno.