Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Semarang Perlu Kendalikan Pemanfaatan Air Tanah Demi Tangani Banjir

Diperlukan regulasi terkait pemanfaatan air tanah. Pasalnya, Kota Semarang mengalami penurunan muka tanah yang signifikan.
Ilustrasi. Genangan air yang terjadi di Kampung Nelayan Tambak Lorok, Tanjung Emas, Kota Semarang./Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan.
Ilustrasi. Genangan air yang terjadi di Kampung Nelayan Tambak Lorok, Tanjung Emas, Kota Semarang./Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan.

Bisnis.com, SEMARANG - Tingginya curah hujan tak menjadi satu-satunya penyebab terjadinya banjir di wilayah Semarang dan sekitarnya. Sebagaimana diketahui, banjir terjadi di beberapa titik sejak pengujung 2022 lalu.

Heri Sutanta, Dosen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, menyebut Kota Semarang yang berada di pesisir meningkatkan risiko terjadinya banjir.

Heri menjelaskan bahwa tanah di wilayah pesisir umumnya dibentuk dari endapan sungai. Fenomena penurunan muka tanah atau land subsidence menjadi salah satu karakter dari wilayah yang dibentuk oleh tanah aluvial itu.

"Hasil penelitian kita di Semarang, kondisi di Jakarta juga sama, penurunan tanah dipercepat oleh pemanfaatan air tanah yang berlebihan dan melebihi kapasitas," jelas Heri pada Jumat (6/1/2023).

Heri menjelaskan bahwa pembangunan pemukiman, kawasan industri, dan infrastruktur fisik lain berkontribusi pada penyusutan daerah tangkapan air di Kota Semarang. Kondisi itu kian diperparah dengan fenomena kenaikan permukaan air laut secara global.

"Daerah pemukiman dan industri yang ada saat ini di kawasan pesisir dapat dilindungi dengan tanggul laut. Selanjutnya, juga dipersiapkan banyak pompa untuk mengalirkan air dari drainase ke sungai besar yang airnya menuju laut," jelas Heri. Namun demikian, diakui bahwa langkah itu memerlukan biaya operasional yang relatif besar.

Heri menambahkan, masih ada cara lain yang bisa digunakan untuk mengendalikan banjir di wilayah Semarang. "Yang pertama adalah mengatur pengambilan air tanah dan menjaga imbuhannya melalui perubahan pembatasan penggunaan lahan di daerah tangkapan airnya," jelasnya.

Dalam catatan Bisnis, saran yang sama juga sempat diutarakan Mila Karmila, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Mila mengungkapkan sejak tahun 1990-an kalangan akademisi telah memperingatkan risiko penurunan muka tanah di Kota Semarang. Namun demikian, pembangunan di wilayah pesisir masih terus berlanjut, bahkan hingga hari ini.

"Masalahnya, sekarang itu industri mengambil [air] bawah tanah. Karena air dangkalnya sudah jelek. Sekarang berarti pemerintah harus menyiapkan air, yang entah melalui PDAM entah apa, yang membuat industri tidak mengambil air bawah tanah. karena kalau cuma membatasi, tapi kalau pemerintah tidak punya solusi menyediakan air bersih untuk industri itu jadi aneh juga," jelas Mila saat dihubungi Bisnis pada 2022 lalu.

Sebelumnya, Plt Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, memerlukan 250 hektare (Ha) lahan untuk membangun kolam retensi. Infrastruktur itu digadang-gadang dapat menjadi solusi pengendalian banjir di wilayah Semarang bagian timur.

Tak hanya kolam retensi, upaya normalisasi sungai juga bakal dilakukan di Sungai Plumbon. Langkah itu dilakukan guna mengendalikan banjir di wilayah barat. "Anggaran normalisasi dan peninggian jembatan ada di Kementerian PUPR, Pemerintah Kota Semarang tinggal menyediakan lahan agar normalisasi berjalan," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Sumber : ugm.ac.id
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper