Bisnis.com, SOLO – Kredit macet atau non performing loan (NPL) perbankan umum di Soloraya mencapai 10,26 persen pada Januari 2020 year on year (yoy).
Angka kredit macet yang tinggi ini dipicu tidak lancarnya pembayaran kredit salah satu debitur besar notabene perusahaan tekstil di Solo.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo, Eko Yunianto mengatakan persentase kredit macet ini naik signifikan sebesar 8,17 persen jika dibandingkan dengan Januari 2019 yang hanya 2,08 persen. Bahkan, NPL ini lebih besar daripada NPL Jawa Tengah yang hanya 4,74 persen.
“Penyebabnya adalah salah satu debitur besar di bidang tekstil yang tidak lancar membayar kredit sejak September 2019 lalu. Terlebih satu debitur ini kontribusinya mencapai 30 persen terhadap total jumlah debitur yang tidak lancar lainnya. Kondisi ini sangat mempengaruhi NPL secara keseluruhan lantaran outstanding loan-nya besar,” ujarnya dalam acara Market Update Industri Soloraya, Senin (9/3/2020).
Lebih lanjut Eko menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan industri jasa keuangan dalam melakukan monitoring terhadap angka kredit bermasalah yang semakin memburuk tersebut. Menurutnya, jika kondisi ini tak segera diperbaiki, maka berdampak pada pengurangan potensi pendapatan industri jasa keuangan.
Dalam hal ini, pihaknya melakukan berbagai upaya. Akan tetapi, perbankan terkait yang memberikan pinjaman berkantor pusat di Jakarta, maka ia juga berkoordinasi dengan OJK pusat. Sayangnya, debitur besar ini berada di Solo sehingga mempengaruhi angka NPL wilayah.
Selain itu, NPL tertinggi berdasarkan wilayah di Soloraya adalah Kota Solo yang mencapai 13,54 persen. Setelah itu, Boyolali dengan kredit macet 1,89 persen, disusul Sragen 1,82 persen, Klaten 1,81 persen, Sukoharjo 1,73 persen, Karanganyar 1,63 persen, dan Wonogiri 1,58 persen.
“Meningkatnya angka NPL ini dipengaruhi oleh banyaknya debitur. Mulai dari debitur kecil, sedang, menengah, sampai besar. Industri jasa keuangan juga berupaya menyelesaikan ini,” imbuhnya.
Di samping itu, angka NPL 10,26 persen itu senilai Rp8,398 triliun. Solo mencatat kredit macet paling tinggi sebesar 13,54 persen atau senilai Rp8 triliun. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum tumbuh 7,11 persen yoy. Sedangkan kredit juga tumbuh 7,46 persen.
Sebelumnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Solo, Bambang Pramono, mengatakan pada 2019 penyaluran kredit di Soloraya tumbuh 9,83 persen. Menurutnya, pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 11,84 persen. Hal ini dipicu perlambatan kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi.
“Pertumbuhan DPK juga lebih lambat sehingga mendorong terjadinya LDR. Pada Januari 2020, kredit masih melambat dengan NPL yang cenderung meningkat,” jelasnya.